JAKARTA – Suasana ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta berubah haru, pada Rabu (22/10/2025). Panitera pengganti, Wahyu Gunawan, terdakwa dalam kasus dugaan suap vonis lepas perkara korporasi minyak goreng (migor), tak kuasa menahan tangis saat menceritakan bagaimana anak sulungnya enggan menemuinya sejak ia ditahan.
“Anak pertama saya berusia 12 tahun, kelas dua SMP. Sejak saya ditahan sampai sekarang, dia tidak mau menemui saya, Yang Mulia,” ujar Wahyu dengan suara bergetar, diselingi isak tangis.
Ketua majelis hakim, Effendi, sempat menghentikan pemeriksaan sejenak, memandang Wahyu dengan tatapan iba. “Masih bisa lanjut, Saudara Wahyu?” tanya hakim pelan. “Bisa, Yang Mulia,” jawab Wahyu sambil mengusap air mata.
Wahyu lalu menyebut satu per satu usia keempat anaknya. “Yang pertama 12 tahun, perempuan. Nomor dua laki-laki, 7 tahun kelas 1 SD. Nomor tiga laki-laki, 2 tahun, dan yang bungsu laki-laki, 1 tahun.” Suaranya makin pelan, nyaris tenggelam oleh isak.
Tangisan Wahyu menyentuh suasana ruang sidang yang tegang sejak awal. Sejumlah pengunjung sidang tampak menunduk, sementara para penasihat hukum terlihat menatap kosong ke arah meja terdakwa.
Ketegangan emosional kian terasa ketika Ketua Majelis Hakim Effendi memberikan tanggapan pribadi di sela-sela sidang. Dengan nada bergetar, ia mengaku sidang ini merupakan yang paling berat sepanjang kariernya.
“Selama saya jadi hakim, inilah persidangan yang paling berat buat saya,” ucap Effendi lirih.
Di hadapannya duduk lima terdakwa yang bukan orang asing baginya. Mereka adalah sesama hakim dan pejabat peradilan: Muhammad Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan.
“Saudara Arif, Saudara Agam, saya kenal baik. Kita pernah tugas bersama di Riau. Sejak 1996, kita sama-sama berjuang membangun karier di dunia peradilan. Tapi kini, kita bertemu lagi di ruang sidang ini, dengan posisi yang sangat berbeda,” tutur Effendi, tak kuasa menahan tangis.
Ia menunduk lama sebelum melanjutkan, “Jujur, ini bukan suasana yang saya inginkan. Tapi sebagai hakim, saya tetap harus menegakkan hukum, apa pun risikonya,” tegasnya.
Kasus yang menyeret nama-nama besar di lembaga peradilan ini bermula dari vonis lepas terhadap korporasi minyak goreng dalam perkara korupsi ekspor CPO dan turunannya.
Majelis hakim yang memutus perkara tersebut terdiri atas Djuyamto (ketua), Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom diduga menerima suap sebesar Rp40 miliar untuk menjatuhkan putusan bebas.
Dalam surat dakwaan jaksa, uang suap itu disebut berasal dari empat pengacara: Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafei, yang mewakili pihak korporasi migor. Dana itu lalu dibagi ke sejumlah pejabat pengadilan:
• Muhammad Arif Nuryanta (eks Wakil Ketua PN Jakpus): Rp15,7 miliar
• Djuyamto: Rp9,5 miliar
• Agam Syarief Baharudin: Rp6,2 miliar
• Ali Muhtarom: Rp6,2 miliar
• Wahyu Gunawan (mantan panitera muda perdata PN Jakut): Rp2,4 miliar
Jaksa menilai seluruh terdakwa berperan aktif dalam membentuk konstruksi suap, mulai dari komunikasi dengan pengacara hingga pembagian dana.
Persidangan kali ini menjadi refleksi kelam bagi institusi peradilan Indonesia. Bukan hanya perkara uang, tetapi juga tentang kerapuhan integritas dan kehancuran kepercayaan antarpenegak hukum sendiri.
“Seluruh angkatan hakim menengok ke kita sekarang. Mungkin saya akan dihujat. Tapi tugas negara ini harus saya jalankan,” ujar Effendi menutup sidang dengan nada parau.
Ruang sidang kembali sunyi. Di kursi terdakwa, Wahyu menunduk, air mata belum kering di wajahnya. Di balik isak tangis seorang ayah yang rindu anak, terpampang pula wajah getir dari sistem peradilan yang sedang diuji bukan oleh hukum, tetapi oleh nurani.
Kasus ini menjadi ujian moral besar bagi lembaga peradilan Indonesia. Ketika para penegak hukum harus diadili oleh rekan seprofesi.
Publik berhak berharap bahwa keadilan tak hanya ditegakkan, tetapi juga dipulihkan demi kepercayaan rakyat terhadap hukum yang seharusnya suci dari suap dan pengkhianatan.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin