JAKARTA – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) terkait pembiayaan kredit di lingkungan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (7/10/2025).
Persidangan kali ini menghadirkan tiga orang saksi dari pihak BNI yang berasal dari divisi auditor internal, bagian pertanggungjawaban kredit, dan manajemen jaminan kredit tanpa agunan.
Dalam keterangannya, Kuasa Hukum terdakwa Lia Hertika Hudayani, Erdi Surbakti, menilai bahwa keterangan ketiga saksi tersebut belum mampu menjelaskan secara terstruktur dan objektif mengenai adanya kerugian negara sebagaimana didalilkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Kami melihat dari keterangan tiga saksi BNI ini, belum ada penjelasan yang komprehensif mengenai bagaimana kerugian negara dihitung. Audit yang digunakan untuk menyatakan adanya kerugian adalah audit internal BNI sendiri, bukan audit independen atau dari BPK,” ujar Erdi Surbakti kepada wartawan disela sidang.
Menurut Erdi, hasil audit internal BNI tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat untuk menyimpulkan adanya kerugian negara. Ia menegaskan bahwa berdasarkan ketentuan Mahkamah Konstitusi, perhitungan kerugian negara harus bersifat pasti, bukan berdasarkan asumsi atau dugaan semata.
Lebih lanjut, Erdi juga menyoroti adanya ketidakkonsistenan dalam penetapan pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Ia menyebut bahwa kliennya, Lia Hertika Hudayani, hanyalah pihak marketing yang bertugas mencari debitur di wilayah BNI Jakarta Kota, bukan pengambil keputusan kredit.
“Dalam struktur BNI, ada atasan yang bernama Fadilah yang seharusnya ikut bertanggung jawab. Namun dalam perkara ini, nama tersebut tidak dilibatkan sebagai terdakwa. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar soal keadilan dan objektivitas penetapan tersangka,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti adanya kejanggalan dalam pembagian tanggung jawab pada cabang BNI di TNI Daan Mogot, di mana kewenangan kredit di bawah Rp400 juta berada di tangan Wakil Pemimpin Cabang. Namun, dalam kasus ini, pejabat dengan posisi tersebut tidak dijadikan terdakwa.
“Kami melihat ada kerancuan dalam pertanggungjawaban manajerial. Kalau memang terjadi kerugian di bawah Rp400 juta, seharusnya yang bertanggung jawab adalah wakil pimpinan cabang. Namun anehnya, justru yang dihadapkan ke pengadilan adalah staf marketing,” papar Erdi.
Dalam persidangan hari ini, tim kuasa hukum juga menilai bahwa peran “pemutus kredit” menjadi faktor utama dalam menentukan ada atau tidaknya kerugian. Sementara itu, Lia Hertika disebut hanya berperan dalam pengumpulan data debitur, bukan pada tahap pengambilan keputusan kredit.
“Kalau bicara soal kerugian negara, yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah pemutus kredit, bukan pengumpul data. Marketing hanya mengantarkan dokumen calon debitur, tetapi keputusan akhir tetap di tangan manajemen,” kata Erdi.
Kuasa hukum Lia Hertika Hudayani berencana menghadirkan ahli keuangan negara dalam sidang berikutnya untuk memperjelas aspek hukum dan perhitungan kerugian yang diklaim Jaksa sebesar Rp37 miliar.
“Kami meyakini audit internal BNI tidak bisa dijadikan dasar menilai adanya kerugian negara. Kalau cara seperti ini dibiarkan, maka semua BUMN bisa diseret ke ranah pidana hanya berdasarkan audit internal tanpa verifikasi independen,” tegas Erdi menambahkan.
Sidang Tipikor ini dijadwalkan akan kembali dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan serta rencana pemanggilan ahli.
Pihak kuasa hukum berharap Majelis Hakim dapat menilai perkara ini secara objektif dan proporsional, agar proses hukum berjalan sesuai dengan asas keadilan, kepastian hukum, dan transparansi.
Penulis: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin