JAKARTA – Sidang lanjutan kasus dugaan obstruction of justice (perintangan penyidikan) yang menjerat Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (29/10/2025). Dalam agenda sidang kali ini, tim kuasa hukum terdakwa membacakan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan jaksa yang dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan berpotensi mengkriminalisasi insan pers.
Kuasa hukum terdakwa, H. Didi Supriyanto, S.H., M.Hum., sebelum memasuki ruang sidang, menyampaikan kepada awak media bahwa pihaknya menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya sangat keliru, baik secara formil maupun materiil.
“Hari ini kami membacakan eksepsi terhadap dakwaan Jaksa yang menurut kami salah arah. Dakwaan terhadap Pak Tian sebagai Direktur JAK TV dengan pasal 21 itu sangat tidak tepat, karena kasus yang disebutkan tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana korupsi ataupun peradilan tipikor,” ujar Didi Supriyanto.
Ia menegaskan, kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh Tian seharusnya dinilai melalui Undang-Undang Pers, bukan melalui hukum pidana korupsi. Menurutnya, bila terdapat pemberitaan yang dianggap tidak berkenan atau menimbulkan keberatan, mekanisme penyelesaiannya seharusnya ditempuh melalui hak jawab atau hak koreksi, bukan dengan kriminalisasi melalui pasal perintangan penyidikan.
“Kalau memang ada berita yang dianggap salah atau mencemarkan nama baik, maka itu ranahnya UU Pers atau UU ITE, bukan pasal 21. Lagi pula, institusi seperti Kejaksaan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengadukan pencemaran nama baik, karena itu hanya bisa dilakukan oleh perorangan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Didi menilai dakwaan jaksa tidak disusun dengan jelas dan cermat. Dalam surat dakwaan, peristiwa yang dituduhkan disebut terjadi pada rentang waktu 2013 hingga 2015, tanpa penjelasan spesifik mengenai peran atau tindakan konkret yang dilakukan oleh terdakwa.
“Dakwaan yang tidak jelas seperti ini jelas merugikan hak terdakwa dalam membela diri. Kami menilai surat dakwaan harus batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat formil,” tegas Didi.
Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum juga menyoroti tuduhan jaksa yang menyebut Tian terlibat bersama dua tersangka lain, Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saebih (JS), dalam melakukan permufakatan jahat menggiring opini publik melalui pemberitaan negatif tentang Kejaksaan. Menurut Didi, posisi Tian dalam hal ini hanya sebagai insan pers yang menjalankan profesinya, bukan bagian dari pelaku tindak pidana.
“Kalau pun ada hubungan antara Tian dan pihak lain, itu bukan berarti turut serta dalam kejahatan. Paling jauh, kalaupun terbukti, perannya hanya membantu, bukan pelaku utama,” imbuhnya.
Kasus ini bermula ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) menahan Tian Bahtiar, dengan tuduhan melakukan perintangan penyidikan (obstruction of justice) dalam sejumlah perkara dugaan korupsi besar, seperti tata niaga timah, impor gula, dan ekspor CPO.
Kejagung menuduh Tian telah melakukan permufakatan jahat bersama dua pengacara, Marcella Santoso dan Junaedi Saebih, untuk menggiring opini publik melalui pemberitaan yang dinilai menyudutkan institusi Kejaksaan. Dalam dakwaannya, Tian juga dituduh menerima uang sebesar Rp478,5 juta sebagai imbalan atas publikasi sejumlah berita yang dianggap “menyerang” Kejagung.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Kohar, menyebut salah satu barang bukti yang disita adalah “rekapitulasi pemberitaan negatif tentang Kejaksaan di 24 media online”.
Namun, tuduhan tersebut langsung dibantah oleh Tian saat dibawa petugas Kejagung. “Enggak ada, enggak ada,” katanya singkat kepada wartawan pada Selasa (22/4/2025).
Kasus ini menarik perhatian luas karena dianggap menjadi preseden baru dalam sejarah hukum Indonesia, di mana produk jurnalistik dijadikan alat bukti perintangan penyidikan.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga pers menyuarakan keprihatinan mendalam atas langkah Kejagung. Mereka menilai tindakan tersebut berpotensi mengancam kebebasan pers dan mengaburkan batas antara jurnalisme dan kejahatan pidana.
Menurut mereka, penilaian terhadap isi pemberitaan seharusnya menjadi kewenangan Dewan Pers, bukan aparat penegak hukum.
“Jika produk jurnalistik dijadikan bukti kejahatan, maka kebebasan pers berada di ujung tanduk. Ini bisa menjadi alat pembungkam terhadap kritik media,” kata salah satu perwakilan lembaga pers yang ikut memantau sidang.
Sidang pembacaan eksepsi Tian Bahtiar akan menjadi tahap penting dalam menentukan arah perkara ini. Bila majelis hakim menilai dakwaan jaksa tidak memenuhi syarat formil dan materiil, maka dakwaan dapat dinyatakan batal demi hukum, dan proses perkara otomatis berhenti di tahap awal.
Kuasa hukum berharap majelis hakim dapat bersikap objektif dan menjunjung tinggi prinsip keadilan serta kebebasan pers.
“Kami percaya hakim akan melihat perkara ini secara jernih, bahwa ini bukan soal korupsi, tapi soal profesi jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya,” pungkas Didi Supriyanto.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































