JAKARTA – Persidangan perkara dugaan korupsi impor gula yang menyeret Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur (BMM) Hans Falita Utama bersama empat terdakwa lain kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang kali ini menghadirkan seorang saksi ahli, Riawan Chandra, yang memberikan keterangan melalui sambungan daring.
Namun, mekanisme persidangan online tersebut menuai keberatan dari pihak kuasa hukum terdakwa. Agus Sudjatmoko, S.H., M.H., selaku penasihat hukum Hans Falita Utama, menilai proses tersebut tidak sejalan dengan aturan hukum acara.
“Kami keberatan karena saksi ahli seharusnya dihadirkan langsung di persidangan, bukan secara online. Aturannya jelas, penggunaan perangkat elektronik itu hanya diperbolehkan untuk kondisi tertentu, misalnya terdakwa yang tidak bisa hadir. Sedangkan saksi ahli tetap wajib hadir dan dapat dipanggil paksa oleh jaksa,” tegas Agus usai persidangan, Jumat (3/10/2025).
Menurut Agus, ketidakhadiran saksi ahli secara langsung berpotensi melanggar prinsip hukum acara pidana yang mewajibkan saksi hadir di ruang sidang. Ia menambahkan, jaksa memiliki kewenangan untuk memaksa kehadiran ahli demi menghormati panggilan pengadilan.
Selain menyoal mekanisme persidangan, Agus juga mengkritisi substansi keterangan ahli hukum administrasi negara tersebut. Ia menilai pendapat yang disampaikan tidak relevan untuk menjerat kliennya.
Agus menjelaskan bahwa aturan-aturan mengenai asas umum pemerintahan yang baik dan prinsip good corporate governance hanya mengikat penyelenggara negara, bukan pihak swasta seperti kliennya.
“Hans Falita Utama adalah pelaku usaha swasta yang hanya menjalin kerja sama bisnis dengan pihak pemegang penugasan impor. Jadi asas-asas yang dijelaskan ahli tadi tidak dapat serta-merta diberlakukan kepada klien kami,” ujarnya.
Agus menambahkan, surat keputusan (SK) penugasan impor gula yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan hingga kini tidak pernah dicabut maupun dibatalkan secara hukum. Karena itu, SK tersebut menurutnya masih sah berlaku.
Dalam dakwaan, jaksa menuding adanya kerugian negara akibat perbedaan harga pokok penjualan (HPP) gula serta pelaksanaan impor yang tidak sesuai ketentuan. Namun, Agus menilai konstruksi dakwaan tersebut salah kaprah.
Ia mencontohkan tafsir jaksa terhadap ketentuan impor gula kristal rafinasi (GKR) maupun gula kristal mentah (GKM) yang menurutnya dibalik secara keliru.
“Analoginya seperti ambulans. Hanya karena ambulans hanya dapat digunakan untuk mengangkut jenazah, bukan berarti jenazah harus selalu diangkut dengan ambulans. Begitu juga dengan aturan impor. Tidak bisa ditafsirkan terbalik,” jelas Agus.
Menurutnya, hasil rapat koordinasi antar-kementerian pada 28 Desember 2015 justru telah menyepakati bahwa impor GKM untuk kemudian diolah menjadi GKR merupakan langkah yang sah.
Lebih jauh, Agus menilai keterangan ahli yang menyinggung prosedur dan kewenangan pejabat administrasi negara tidak tepat jika dijadikan dasar untuk menjerat pihak swasta.
Ia menekankan bahwa keputusan administratif baru dapat dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pengadilan tata usaha negara, atau melalui mekanisme konstitusional. Selama keputusan tersebut belum pernah dicabut, menurutnya dasar hukum masih melekat.
“Importir swasta seperti klien kami tidak bisa diposisikan seolah-olah melawan hukum, karena mereka hanya menjalankan kerja sama bisnis berdasarkan penugasan yang sah dari pemerintah,” tandas Agus.
Sidang dugaan korupsi impor gula ini diperkirakan masih akan memeriksa sejumlah saksi dan ahli lain dalam waktu dekat.
Majelis hakim dipimpin oleh hakim Tipikor PN Jakarta Pusat menegaskan bahwa keberatan para kuasa hukum terdakwa akan dicatat dalam berita acara persidangan dan menjadi bagian dari pertimbangan majelis.
Kasus ini menjadi sorotan publik lantaran menyangkut tata kelola impor bahan pokok strategis dan potensi kerugian negara yang ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah.
Proses persidangan berikutnya dijadwalkan pekan depan dengan agenda lanjutan pemeriksaan saksi.
Penulis: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin