JAKARTA – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan terdakwa Isa Rachmatarwata, mantan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, pada Selasa (11/11/2025).
Sidang yang berlangsung di ruang utama Pengadilan Tipikor itu dipimpin oleh Hakim Ketua Sunoto, dan menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Suparji Ahmad, S.H., M.H. sebagai saksi ahli.
Dalam keterangannya, Suparji menegaskan bahwa tindakan pejabat publik atau direksi dalam mengambil kebijakan penyelamatan perusahaan tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, kecuali terdapat bukti kuat mengenai adanya niat jahat (mens rea), penyalahgunaan kewenangan, atau pelanggaran terhadap aturan hukum yang berlaku.
“Apabila suatu kebijakan diambil berdasarkan kewenangan jabatan, dilandasi itikad baik, serta bertujuan menyelamatkan perusahaan tanpa adanya konflik kepentingan, maka tindakan tersebut tidak bisa langsung dianggap sebagai tindak pidana korupsi,” ujar Suparji di hadapan majelis hakim.
Ia menambahkan, konsep “business judgement rule” sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas, menjadi pedoman penting dalam menilai tanggung jawab direksi terhadap kebijakan yang diambil.
“Direksi tidak dapat dituntut atas kerugian korporasi jika tindakan tersebut dilakukan dengan itikad baik, hati-hati, dan tanpa konflik kepentingan,” jelasnya.
Dalam persidangan, Hakim Ketua Sunoto mengajukan pertanyaan yang menyoroti dilema antara kebijakan penyelamatan dan pelanggaran hukum.
“Bagaimana jika seluruh tindakan direksi Jiwasraya dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan yang terancam kolaps dan merugikan jutaan pemegang polis, sementara opsi lain seperti injeksi modal Rp6 triliun sudah ditolak oleh Menteri Keuangan? Apakah hal itu dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa?” tanya Sunoto.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Suparji menjelaskan bahwa batas antara kesalahan administratif (maladministrasi) dan tindak pidana korupsi terletak pada pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku serta adanya motif pribadi dalam pengambilan keputusan.
“Kalau kebijakan itu tidak memperhatikan aturan yang berlaku, mengandung diskriminasi, atau menimbulkan konflik kepentingan, maka tidak bisa dikategorikan sebagai kebijakan beritikad baik,” ujarnya menegaskan.
Majelis hakim juga menyinggung kebijakan pembayaran reasuransi senilai Rp60 miliar yang dilakukan Jiwasraya. Menurut Suparji, sepanjang transaksi tersebut memberikan manfaat ekonomi dan mendukung keberlangsungan perusahaan, maka tindakan itu tidak otomatis menjadi kerugian negara.
“Namun, jika terbukti melanggar ketentuan yang berlaku dan menimbulkan potensi kerugian keuangan negara, maka unsur pidana dapat dipertimbangkan,” tambahnya.
Ahli mengingatkan bahwa dalam konteks perusahaan milik negara, setiap kebijakan finansial harus tetap memperhatikan aturan insolvensi, perizinan reasuransi, serta batas intervensi pemerintah, agar tidak menimbulkan tumpang tindih antara tanggung jawab administratif dan pidana.
Sementara itu, tim kuasa hukum terdakwa yang dipimpin oleh Dr. Kukuh Komandoko Hadiwidjojo, S.H., M.Kn., menyoroti pentingnya pembedaan antara kebijakan ekonomi publik dan perbuatan melawan hukum.
“Jika kebijakan tersebut justru memberikan dampak positif bagi perusahaan dan negara, maka unsur kerugian negara dan niat jahat semestinya tidak terpenuhi,” ujar Kukuh seusai sidang.
Ia menambahkan, kasus Jiwasraya seharusnya menjadi momentum untuk mempertegas batas diskresi pejabat publik dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis dan mendesak, agar tidak mudah dikriminalisasi.
Dalam perkara ini, Isa Rachmatarwata didakwa turut serta melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan investasi Jiwasraya bersama sejumlah petinggi lainnya, yakni Hendrisman Rahim (mantan Direktur Utama), Harry Prasetyo (mantan Direktur Keuangan), dan Syahmirwan (mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan).
Menurut dakwaan jaksa, tindakan para terdakwa menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp90 miliar.
Sidang yang berlangsung tertib dan terbuka untuk umum ini dinilai menjadi babak penting dalam menentukan arah penegakan hukum terhadap kebijakan publik di Indonesia.
Majelis hakim menunda persidangan dan menjadwalkan pemanggilan saksi tambahan dari pihak regulator serta auditor negara untuk memberikan pandangan mengenai aspek legal dan administratif dari kebijakan keuangan Jiwasraya.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































