JAKARTA – Aksi demonstrasi bertajuk “Adili Jokowi” yang digelar oleh Aliansi Kedaulatan Rakyat pada Kamis, 13 Juni 2025, berujung ricuh dan menyisakan dugaan pelanggaran prosedur oleh aparat. Koordinator aksi, Menuk Wulandari, mengaku menjadi korban kekerasan dalam pengamanan aksi yang berlangsung di kawasan Jakarta Pusat tersebut.
Menurut keterangan Menuk, aliansi telah mengirimkan surat pemberitahuan aksi kepada pihak Mabes Polri dan Polda Metro Jaya sejak tujuh hari sebelum aksi berlangsung. Rute dan jenis kendaraan yang akan digunakan juga telah diinformasikan. Namun, menurutnya, beberapa jam sebelum aksi dimulai, dirinya menerima telepon dari seseorang yang mengaku dari pihak kepolisian dan meminta agar aksi dibatalkan tanpa alasan yang jelas.
“Saya sudah menjalankan kewajiban administratif saya. Tapi malam itu saya dihubungi dan diminta membatalkan aksi tanpa alasan konkret. Bahkan ada nada ancaman yang saya anggap tidak pantas,” ujar Menuk kepada wartawan, di kawasan TB Simatupang, Senin (16/6).
Pagi harinya, ketegangan semakin meningkat saat peserta aksi dihalangi oleh aparat untuk melalui rute yang telah disepakati sebelumnya. Salah satu keberatan pihak kepolisian adalah penggunaan kendaraan jenis bajaj, yang disebut berpotensi disita. Menuk mengaku telah mengakomodasi keberatan tersebut dengan menarik bajaj dari barisan aksi.
Namun, perubahan rute yang dipaksakan oleh aparat menjadi pemicu utama kericuhan. Menuk menolak mengubah rute karena menganggapnya akan memecah barisan massa. “Saya tahu jika kami mengikuti belokan itu, kami akan dipaksa bubar. Jalan depan ditutup, jalan samping ditutup. Saya merasa kami sedang dijebak,” katanya.
Dalam insiden tersebut, Menuk mengaku sempat ditarik paksa oleh aparat hingga bajunya tersingkap. “Saya ditarik dengan kedua tangan dipegang. Banyak laki-laki di situ. Saya hanya bisa berharap ada yang menutupi,” ungkapnya.
Setelah insiden itu, ia dibawa ke Markas Komando dan menghadapi pemeriksaan terkait kelengkapan kendaraan. Ia menyayangkan pendekatan aparat yang dinilai lebih represif ketimbang persuasif. “Kalau soal kelengkapan, itu memang hak kepolisian. Tapi cara dan waktunya sangat tidak pantas. Ini seperti upaya untuk menghentikan aspirasi rakyat,” kata Menuk.
Dalam aksi ini, aliansi membawa tema “Adili Jokowi” dengan tujuan mendesak pertanggungjawaban moral dan politik dari Presiden Joko Widodo, termasuk mempertanyakan ketidakhadiran Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dalam beberapa agenda publik.
“Kami ingin bertanya: ke mana Mas Gibran? Kami tidak melihat kehadiran yang seharusnya ada dalam transisi kekuasaan,” ungkap Menuk.
Total kendaraan yang ikut dalam aksi, menurut data lapangan, mencapai sekitar 10 mobil dan puluhan motor, termasuk bajaj yang akhirnya ditarik. Menuk menegaskan bahwa semua kendaraan telah dicatat dan bukan bagian dari massa liar. Aksi kemudian berakhir di kawasan Cut Meutia setelah rute utama tidak dapat dilalui.
Terkait dengan dugaan kekerasan, pihak aliansi masih mempertimbangkan upaya hukum. “Saya belum lapor karena saya tahu di negara ini, rakyat selalu di posisi salah. Tapi saya juga tidak akan kapok. Ini justru jadi pelajaran untuk saya, untuk lebih pintar membaca situasi dan menyiapkan strategi ke depan,” tutup Menuk.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian terkait insiden yang dilaporkan oleh koordinator aksi. Upaya konfirmasi masih terus dilakukan.
Penulis : Fahmy Nurdin
Editor : Fahmy Nurdin