JAKARTA – Konflik kepemilikan dan pengelolaan Sekolah HighScope Rancamaya antara Yayasan Bina Tunas Abadi (YBTA) dan Yayasan Perintis Pendidikan Belajar Aktif (YPPBA) kian meruncing, menyoroti bukan hanya sengketa aset, tetapi juga prinsip tata kelola dan integritas dunia pendidikan.
Pihak pertama, YBTA, telah mengelola HighScope Rancamaya sejak 2008, mengantongi akta pendirian yayasan, SK Kementerian Hukum dan HAM, serta izin operasional Dinas Pendidikan yang diklaim masih berlaku. Pihak kedua, YPPBA, disebut melakukan pengambilalihan pengelolaan sekolah secara sepihak.
Menurut kuasa hukum YBTA, Chandra Goba, pengambilalihan oleh YPPBA tidak didasari putusan pengadilan maupun surat kuasa resmi. “Sejak awal seluruh legalitas berada di bawah YBTA, dan kami menjalankan amanah ini dengan penuh tanggung jawab,” tegas Chandra dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/8).
Chandra mengungkap, kerjasama sebelumnya berbentuk sublisensi yang terafiliasi dengan HighScope Educational Research Foundation (HSERF) di Amerika Serikat.
Namun, hasil penelusuran di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menunjukkan lisensi resmi antara HSERF dan YPPBA baru terdaftar pada 2024, berlaku hingga Desember 2026. Ia menuding, nama “PT HighScope Indonesia” sempat digunakan tanpa persetujuan pemilik merek di AS.
Lebih jauh, HSERF disebut hanya menyelenggarakan pendidikan jenjang TK, sehingga penggunaan nama “HighScope” untuk SD hingga SMA di Indonesia tidak termasuk dalam sistem resmi HSERF.
Presiden HSERF, Alejandra Baraza, pada 2 Mei 2024 disebut mengirim surat meminta YPPBA mengembalikan pengelolaan HighScope Rancamaya kepada YBTA. Kesepakatan sempat tercapai pada 6 Mei, namun YPPBA dinilai belum menjalankan komitmen tersebut.
Kuasa hukum YBTA lainnya, Dolan Colling, menegaskan bahwa sengketa ini tidak hanya menyangkut kepemilikan. “Pendidikan bukan aset bisnis, melainkan amanah bagi masa depan generasi bangsa,” ujarnya.
Ia menilai, konflik yang melibatkan lisensi, kurikulum internasional, dan izin operasional akan berdampak langsung pada kepastian belajar siswa dan kepercayaan orang tua.
Dalam sidang 1 Agustus, saksi ahli hukum perdata Gunawan Widjaja memaparkan syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, unsur wanprestasi sesuai Pasal 1243, dan kriteria perbuatan melawan hukum. Ia mencontohkan, penggunaan izin operasional atas nama pihak lain tanpa persetujuan atau pemutusan perjanjian sepihak di luar prosedur dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Gunawan juga menyoroti perubahan status lisensi di situs resmi pemberi lisensi sebagai indikasi berakhir atau berubahnya hubungan hukum.
“Kepatuhan terhadap perjanjian dan aturan hukum adalah kunci penyelesaian konflik secara adil dan transparan,” tegasnya.
YBTA masih mengelola TK dan SD di HighScope Rancamaya, keduanya berakreditasi A, sembari menunggu kepastian hukum terkait lisensi dan kurikulum. Sementara YPPBA belum memberikan pernyataan resmi pasca-tudingan terbaru.
Sengketa HighScope Rancamaya kini menjadi ujian besar bagi konsistensi penegakan hukum di sektor pendidikan. Di tengah tarik-menarik legalitas dan lisensi, nasib ratusan siswa dan guru menjadi taruhan. Penyelesaian yang mengedepankan transparansi, keadilan, dan kepastian hukum menjadi tuntutan utama semua pihak.