JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis bersalah terhadap empat petinggi perusahaan gula swasta dalam perkara korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) periode 2015-2016. Majelis hakim yang diketuai Dennie Arsan Fatrika menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp578 miliar.
“Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun kepada masing-masing terdakwa,” ujar Dennie saat membacakan amar putusan di ruang sidang Tipikor, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Keempat terdakwa tersebut adalah Hansen Setiawan (Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya), Ali Sandjaja Boedidarmo (Direktur Utama PT Kebun Tebu Mas), Wisnu Hendraningrat (Presiden Direktur PT Andalan Furnindo), dan Indra Suryaningrat (Direktur Utama PT Medan Sugar Industry). Selain hukuman penjara, mereka juga diwajibkan membayar denda masing-masing Rp200 juta, subsider empat bulan kurungan.
Tak berhenti di situ, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti dengan nilai fantastis. Hansen diwajibkan membayar Rp41,38 miliar, Indra Rp77,21 miliar, Wisnu Rp60,99 miliar, dan Ali Rp47,86 miliar. Apabila tidak dibayar, harta para terdakwa dapat disita dan dilelang untuk menutupi kerugian negara.
Majelis menilai keempatnya terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menjelaskan bahwa para terdakwa bekerja sama dengan sejumlah pejabat dan pihak swasta dalam mengatur proses impor gula rafinasi dan gula kristal putih pada 2015–2016. Modus yang digunakan yakni dengan memanfaatkan penugasan fiktif kepada BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk menyalurkan gula impor dengan harga di atas harga patokan pemerintah (HPP).
Seharusnya, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 42/M-DAG/PER/5/2016, harga patokan petani (HPP) gula kristal putih ditetapkan sebesar Rp9.100 per kilogram. Namun, keempat terdakwa melalui perusahaan masing-masing menjual gula hasil olahan dari bahan baku impor kepada PPI dengan harga mencapai Rp11.100 per kilogram, jauh di atas HPP yang ditentukan.
Majelis menyebut, skema itu dilakukan melalui kerja sama formal antara PPI dengan perusahaan terdakwa tanpa melalui mekanisme rapat koordinasi antar-kementerian, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Padahal, setiap kebijakan impor gula nasional wajib ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan lintas kementerian, termasuk Kementerian Pertanian dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Hakim Dennie mengungkap, pelaksanaan impor oleh para terdakwa dilakukan pada saat bersamaan dengan musim giling tebu nasional, yang justru melanggar Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Akibatnya, harga gula petani lokal jatuh drastis di pasar karena pasokan impor membanjiri gudang distribusi.
“Perbuatan para terdakwa telah mengabaikan asas perlindungan petani dan stabilitas harga pangan nasional,” ujar Dennie.
Dalam sidang juga terungkap bahwa kegiatan impor tersebut menggunakan sejumlah dokumen pabean BC 2.0 yang menunjukkan biaya perolehan gula impor lebih rendah dari harga produksi dalam negeri, yakni sekitar Rp6.800 per kilogram. Meski demikian, gula tersebut tetap dijual dengan harga tinggi melalui mekanisme operasi pasar yang dikendalikan PPI.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan perbuatan para terdakwa menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp578,15 miliar, terdiri dari kekurangan penerimaan bea masuk, PPN impor, serta kerugian pada BUMN PPI akibat manipulasi harga jual beli.
Selain empat terdakwa utama yang telah divonis, lima bos perusahaan gula lainnya juga ikut terseret dalam perkara ini dan masih menunggu pembacaan vonis. Mereka adalah:
• Tony Wijaya Ng, Direktur Utama PT Angels Products
• Then Surianto Eka Prasetyo, Direktur PT Makassar Tene
• Eka Sapanca, Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama
• Hendrogiarto A. Tiwow, Direktur PT Duta Sugar International
• Hans Falita Hutama, Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur
Sementara itu, mantan Direktur Utama PT PPI Charles Sitorus lebih dulu divonis empat tahun penjara dan denda Rp750 juta karena terbukti menandatangani kontrak kerja sama fiktif dengan perusahaan-perusahaan terdakwa.
Kasus ini juga menyeret mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, yang sempat dijatuhi hukuman empat tahun enam bulan penjara dengan denda Rp750 juta. Namun, Thomas bebas setelah mendapat abolisi dari Presiden Prabowo Subianto pada awal 2025.
Dalam putusannya, majelis hakim menyoroti lemahnya mekanisme koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kuota dan pelaksanaan impor gula. Penugasan kepada PT PPI pada 2015–2016 dilakukan tanpa dasar rapat koordinasi resmi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 28 Permendag 117/2015. Tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Hakim juga menilai, tindakan sejumlah pejabat Kemendag pada masa itu telah menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang mengamanatkan bahwa stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok harus dilaksanakan melalui penugasan kepada BUMN yang memiliki dasar hukum dan rekomendasi teknis dari kementerian terkait.
“Penugasan impor kepada PT PPI tanpa melalui mekanisme yang sah merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan,” tegas hakim anggota dalam sidang tersebut.
Sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan puas atas putusan tersebut, meski menyebut masih akan mempelajari pertimbangan hukum hakim untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.
Kasus ini menjadi salah satu skandal terbesar dalam tata niaga gula nasional, yang menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap proses impor dan distribusi bahan pangan strategis.
Pemerintah diharapkan memperbaiki sistem pengendalian harga dan kuota impor agar praktik serupa tidak kembali terulang.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































