Prof Hadi Subhan: Pidana Adalah Ultimum Remedium, Kasus LPEI Seharusnya Selesai di Ranah Perdata

- Jurnalis

Jumat, 7 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: Prof Hadi Subhan saat Meninggalkan ruang sidang Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025). (Dok-Okj/Fahmy Nurdin)

Foto: Prof Hadi Subhan saat Meninggalkan ruang sidang Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025). (Dok-Okj/Fahmy Nurdin)

JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pembiayaan ekspor oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank, Jumat (7/11/2025).

Sidang tersebut menghadirkan ahli kepailitan Prof. M. Hadi Subhan, yang dimintai pendapat hukum mengenai status hukum utang-piutang dan proses penyitaan aset dalam perkara yang melibatkan korporasi PT Petro Energy.

Dalam persidangan, Prof. Hadi Subhan menjelaskan secara rinci tentang kedudukan hukum antara proses kepailitan dan perkara pidana yang sedang berjalan.

Ia menegaskan, ketika suatu perusahaan telah dinyatakan pailit, maka seluruh urusan hukum terkait penyitaan aset dan pengurusan piutang wajib menunggu proses kepailitan selesai atau restrukturisasi rampung.

“Ketika pailit terjadi, tidak boleh ada lagi penyitaan-penyitaan pidana atas aset debitur karena hal itu sudah berada di bawah penguasaan kurator. Semua tindakan hukum harus menunggu pemberesan pailit itu selesai,” kata Prof. Hadi melalui sambungan telepon kepada okjakarta.com, Jumat (7/11/2025).

Ia menambahkan, prinsip utama dalam kepailitan adalah pemberesan harta pailit dan pembagian aset di antara para kreditur. Karena itu, setiap langkah hukum di luar mekanisme kepailitan harus memperhatikan aturan perdata yang berlaku.

Kuasa hukum terdakwa Jimmy Masrin, Dr. Soesilo Aribowo, S.H., M.H., disela persidangan mengatakan, pendapat ahli tersebut mempertegas bahwa perkara ini seharusnya tidak masuk ranah pidana. Ia menilai ada benturan yurisdiksi antara hukum kepailitan dengan proses hukum pidana yang sedang berjalan.

“Sekarang posisi PT Petro sedang dalam proses pailit. Artinya, segala tindakan penyitaan oleh aparat penegak hukum tidak bisa dilakukan. Apalagi perkara pidana ini berjalan sementara kepailitannya belum selesai. Ini menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum,” ujar Soesilo kepada wartawan.

Menurutnya, substansi perkara seharusnya dilihat dari proses restrukturisasi utang yang sedang berjalan dan dari fakta bahwa pembayaran kepada LPEI telah dilakukan oleh pihak ketiga melalui mekanisme corporate guarantee atau penjaminan korporasi.

Prof. Hadi dalam keterangannya menegaskan bahwa utang PT Petro Energy kepada LPEI telah diambil alih oleh pihak ketiga, yakni korporasi penjamin, dan pembayaran telah dilakukan sesuai jadwal.

“Ketika utang diambil alih oleh pihak ketiga dan sudah mulai dibayar sesuai jadwal, berarti tidak ada lagi kemacetan dan seharusnya tidak ada kerugian negara. Ini murni hubungan hukum perdata antara kreditur dan debitur,” ujarnya.

Ahli juga menjelaskan bahwa kesepakatan pengambilalihan utang itu dilakukan jauh sebelum kasus pidana ini muncul, sehingga tidak bisa dianggap sebagai upaya untuk menghindari hukum.

“Kalau pengambilalihan dilakukan setelah kasus pidana, bisa dianggap modus. Tapi ini dilakukan sebelumnya dan justru merupakan upaya recovery pembayaran kepada LPEI,” katanya.

Menurut Hadi, hubungan hukum antara LPEI dan PT Petro Energy adalah murni hubungan utang-piutang komersial, yang secara hukum berada di bawah rezim perdata, bukan pidana.

“Kalau utang sudah diambil alih dan dibayar, maka hubungan hukum selesai. Pidana seharusnya tidak masuk karena kerugian negara tidak terbukti,” tegasnya.

Ia menambahkan, dalam konteks kepailitan, pembayaran yang dilakukan pihak ketiga merupakan tindakan sah dan justru menguntungkan LPEI sebagai kreditur.

“Karena itu, tidak perlu ada persetujuan kurator. Yang penting ada pemberitahuan, karena pembayaran itu memperkecil beban piutang dan mempercepat proses pemberesan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Prof. Hadi menegaskan bahwa dari perspektif hukum kepailitan, tidak terdapat unsur merugikan negara dalam kasus ini.

“Kerugian negara tidak bisa ditentukan hanya karena ada keterlambatan pembayaran atau macet sementara. Kalau pembayaran telah dilakukan sesuai kesepakatan baru, maka kerugian telah dipulihkan atau bahkan tidak pernah terjadi,” tuturnya.

Ia juga mengingatkan agar aparat penegak hukum berhati-hati dalam menarik perkara perdata menjadi pidana.

“Pidana itu bersifat ultimum remedium, jalan terakhir. Kalau kerugian sudah tertangani dan tidak ada niat jahat, seharusnya perkara ini cukup diselesaikan secara perdata,” pungkasnya.

Perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor LPEI ini berawal dari pemberian fasilitas kredit kepada PT Petro Energy yang disebut mengalami kemacetan pembayaran.

Namun dalam perjalanannya, utang tersebut diambil alih oleh pihak ketiga melalui skema penjaminan korporasi, dan proses pembayaran telah berlangsung sesuai jadwal.

Kuasa hukum menilai, fakta ini memperlihatkan bahwa tidak ada kerugian keuangan negara, melainkan hanya perbedaan interpretasi atas mekanisme penyelesaian kredit dalam konteks kepailitan.

Baik pihak terdakwa maupun kuasa hukumnya berharap majelis hakim mempertimbangkan secara objektif fakta hukum yang terungkap di persidangan, termasuk pendapat ahli yang menegaskan tidak adanya unsur korupsi dan kerugian negara dalam perkara ini.

Reporter: Fahmy Nurdin

Editor: Fahmy Nurdin

Berita Terkait

Sidang Lanjutan Kasus Jiwasraya: Ahli Hukum Tegaskan Batas Kebijakan Penyelamatan dan Unsur Tindak Pidana Korupsi
Sidang Kasus Kredit BNI, PH Erdi Surbakti Soroti Peran Dedi Hermawan dan Ketidaksesuaian Keterangan Saksi
Firdaus Oiwobo Uji UU Advokat ke MK, Deolipa Yumara: Intervensi Ketua MA Bisa Cemari Marwah Peradilan
Empat ASN BNN Gugat Surat Tugas ke PTUN: ‘Ini Bukan Mutasi, tapi Pemindahan Jabatan Ilegal’
Sidang PK Adam Damiri Hadirkan Sejumlah Ahli, Deolipa Yumara: Hakim Khilaf 
Kuasa Hukum Danny Praditya: Transaksi PGN–IAE Adalah Keputusan Bisnis, Bukan Tindak Pidana
Tuntutan 8 Tahun untuk Eks Dirut ASDP Dinilai Tak Berdasar, Kuasa Hukum Bongkar Kekeliruan Jaksa pada Pledoi di Pengadilan Tipikor 
Sidang Perdana PK Adam Damiri Delapan Novum Terbaru, Deolipa Yumara Sebut Asabri Justru Untung
Temukan berita-berita terbaru dan terpercaya dari OKJAKARTA.COM di GOOGLE NEWS. Untuk Mengikuti silahkan tekan tanda bintang.

Berita Terkait

Rabu, 12 November 2025 - 00:43 WIB

Sidang Lanjutan Kasus Jiwasraya: Ahli Hukum Tegaskan Batas Kebijakan Penyelamatan dan Unsur Tindak Pidana Korupsi

Selasa, 11 November 2025 - 21:34 WIB

Sidang Kasus Kredit BNI, PH Erdi Surbakti Soroti Peran Dedi Hermawan dan Ketidaksesuaian Keterangan Saksi

Selasa, 11 November 2025 - 19:32 WIB

Firdaus Oiwobo Uji UU Advokat ke MK, Deolipa Yumara: Intervensi Ketua MA Bisa Cemari Marwah Peradilan

Selasa, 11 November 2025 - 15:39 WIB

Empat ASN BNN Gugat Surat Tugas ke PTUN: ‘Ini Bukan Mutasi, tapi Pemindahan Jabatan Ilegal’

Senin, 10 November 2025 - 22:29 WIB

Sidang PK Adam Damiri Hadirkan Sejumlah Ahli, Deolipa Yumara: Hakim Khilaf 

Berita Terbaru