JAKARTA – Sidang lanjutan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Mayjen TNI (Purn) Adam Rachmat Damiri dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan dana PT Asabri (Persero) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
Sidang yang dipimpin oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat ini menghadirkan sejumlah ahli, di antaranya ahli pidana, ahli keuangan, dan ahli investasi, guna memberikan keterangan mendalam terkait adanya unsur hukum baru (novum) yang diajukan dalam permohonan PK tersebut.
Dalam persidangan, Mahmud Mulyadi, ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), memberikan pandangannya terkait makna “keadaan baru” dalam konteks hukum pidana dan peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, suatu keadaan baru dapat dijadikan dasar peninjauan kembali apabila memiliki keterkaitan dengan fakta hukum yang sebelumnya belum muncul atau belum diketahui saat pemeriksaan di pengadilan.
“Kalau ada peraturan baru lahir setelah perkara itu berjalan, maka perlu dilihat apakah peraturan tersebut bisa menguntungkan terdakwa. Dalam konteks asas hukum pidana, Pasal 1 Ayat (2) KUHP menyatakan bahwa peraturan yang lebih menguntungkan terdakwa dapat diberlakukan surut,” jelas Mahmud Mulyadi di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ia juga mencontohkan, apabila ada dokumen atau surat yang muncul setelah perkara selesai namun dapat menerangkan kondisi masa lalu secara signifikan, maka hal itu dapat dianggap sebagai keadaan baru (novum) yang sah untuk dijadikan dasar PK.
Usai sidang, Deolipa Yumara, kuasa hukum Adam Rachmat Damiri, menjelaskan kepada wartawan bahwa inti dari permohonan PK ini terletak pada ketidakjelasan penetapan kerugian negara dan ketidakterlibatan kliennya secara langsung maupun tidak langsung dalam penggunaan dana PT Asabri (Persero).
“Persoalan utama dalam putusan terdahulu adalah kerugian negara yang belum pasti dan belum nyata. Namun, klien kami sudah lebih dulu dipersalahkan dan dihukum. Padahal, pada masa jabatan beliau, tidak pernah ada aliran dana yang masuk atau digunakan secara pribadi,” tegas Deolipa.
Ia menambahkan, majelis hakim dalam sidang PK ini juga tengah memverifikasi berbagai dokumen dan bukti baru yang menunjukkan bahwa Adam Rachmat Damiri tidak lagi menjabat di Asabri pada periode terjadinya dugaan penyimpangan keuangan (2016–2020).
Deolipa menguraikan, terdapat enam novum utama yang diajukan sebagai dasar PK. Novum pertama hingga kelima berupa laporan keuangan laba rugi, pendapatan saham, dan reksadana Asabri yang menunjukkan kenaikan pendapatan secara konsisten selama masa jabatan Adam Damiri.
“Laporan keuangan tersebut sudah diaudit oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk BPK, disahkan oleh Kementerian BUMN, serta disetujui oleh dewan direksi dan komisaris. Artinya, secara sah dan meyakinkan, tidak ada kerugian negara di masa Pak Adam menjabat,” ujar Deolipa.
Novum keenam berupa mutasi rekening dan bukti transaksi saham Antam, yang justru menunjukkan adanya pengembalian modal dan keuntungan investasi, bukan kerugian. Bahkan, bukti tersebut membuktikan bahwa dana yang dikaitkan dengan kerugian negara ternyata berasal dari pihak lain yang bukan tersangka maupun pejabat Asabri, serta terjadi setelah Adam Damiri tidak lagi menjabat.
Saksi Linda Susanti juga memberikan kesaksian di depan majelis hakim. Ia menegaskan bahwa saham yang disebut-sebut mengalami kerugian pada periode kepemimpinan Adam Damiri justru mencatatkan keuntungan signifikan.
“Setelah kami telaah, saham yang dikatakan rugi ternyata masih diperdagangkan dan mencetak keuntungan. Jadi, kerugian negara yang disebutkan tidak nyata dan belum pasti, karena sifat investasi saham itu fluktuatif, ada untung dan ada rugi,” jelas Linda.
Dalam kesempatan yang sama, Deolipa juga menyinggung adanya dugaan kekhilafan hakim dalam putusan sebelumnya. Ia menjelaskan bahwa konsep “uang pengganti” yang dijatuhkan kepada kliennya tidak tepat, sebab Adam Damiri tidak pernah menerima atau menikmati dana hasil korupsi.
“Uang pengganti itu seharusnya dibebankan kepada pihak yang benar-benar menerima atau menggunakan dana hasil kejahatan. Dalam kasus ini, Pak Adam tidak pernah menerima uang itu, jadi tidak logis bila harus mengganti sesuatu yang tidak pernah dia terima,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa perbedaan antara kesalahan dan kekhilafan hakim menjadi penting dalam perkara ini.
“Kalau kesalahan itu dilakukan dengan sengaja, sedangkan kekhilafan adalah ketika hakim yakin sudah benar, tapi ternyata keliru. Dan dalam kasus Pak Adam, kami melihat unsur kekhilafan itu nyata,” tambah Deolipa.
Majelis hakim PN Jakarta Pusat akan melanjutkan persidangan PK ini pada Senin, 17 November 2025 pukul 10.00 WIB, dengan agenda penyampaian pendapat dari pihak termohon sebelum hasil verifikasi dan dokumen resmi dikirimkan ke Mahkamah Agung untuk proses penilaian akhir.
Sidang PK ini menjadi sorotan karena menghadirkan perdebatan mendalam antara aspek hukum pidana, keuangan negara, dan prinsip keadilan substantif.
Banyak pihak menilai bahwa hasil PK ini dapat menjadi preseden penting bagi penerapan asas hukum dalam perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik dan BUMN di masa mendatang.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































