JAKARTA – Idris (46), pemilik “Saung Intan”, sebuah warung kuliner di lantai 3A nomor 30 zona kuning di Pusat Grosir Cililitan (PGC) mengungkap kisah usaha dan pergulatan nyata pelaku UMKM kuliner di ibu kota, pada Sabtu (6/12/2025).
Idris, yang berasal dari Serdang Bedagai, Medan, Sumatera Utara, dan telah “beranak-pinak” di Jakarta sejak era 1990-an memilih berjualan di Pusat Grosir Cililitan ini karena menurutnya “asetnya ramai, pengunjung banyak, jadi banyak peluang”.
Menurut Idris, Saung Intan menawarkan masakan kelas menengah: ayam bakar, ayam penyet, nasi goreng seafood, kwetiau, ayam geprek dan lainnya. Menu terpopuler adalah paket asam manis dan ayam bakar/penyet, yang menurutnya “selalu ramai” ketika pengunjung datang, terutama di pagi sampai siang sebelum makan utama.
Namun di balik keramaian itu, Idris menyayangkan biaya operasional dan sewa yang menurutnya “berat”. “Service tasnya ini gede bisa 3 juta ke atas, listrik dan airnya itu bisa 3 juta ke atas,” ujarnya. Artinya, keuntungan yang dirasakan tidak sebanding kalau dibanding biaya tetap, terutama di hari biasa. Hanya pada Sabtu–Minggu, omzet bisa “lumayan”.
Suka Duka Usaha – Antara Ramai dan Beban Operasional
Idris menjelaskan, suka dari usaha ini jelas: pengunjung ramai, rasa dan pelayanan, “ramah-tamah, sopan, santun”, serta cita rasa khas warungnya menjadi daya tarik utama. Ia menekankan bahwa kelezatan makanan saja tidak cukup; pelayanan dengan “ikhlas” menjadi bagian dari daya saing mereka. Ia merasa, pelanggan kembali bukan sekadar karena rasa, tapi juga keramahan dan konsistensi pelayanan.
Namun duka utamanya justru pada beban tetap: biaya listrik & air yang tinggi, service charge/sewa kios, serta pendapatan yang fluktuatif. “Kalau dari Senin sampai Jumat itu belum tentu dapat penghasilan kita berharap Sabtu–Minggu”, katanya.
Harapan ke Depan: Perbaikan Sewa, Peluang Ekspansi – hingga Luar Negeri
Ke depan, Idris berharap pengelola lokasi warung baik manajemen pusat grosir bisa menurunkan “service charge / sewa kios”. Ia merasa bahwa tarif sekarang tidak sebanding dengan pengunjung dan pendapatan. Ia menekankan bahwa banyak pengunjung datang, sehingga seharusnya beban bagi pedagang tidak dibebankan secara tidak adil.
Selain itu, ia punya impian besar: membuka cabang usaha kuliner “Saung Intan” di luar Indonesia, khususnya di Malaysia. Ia memilih kuliner karena menurutnya makanan adalah kebutuhan pokok manusia, sehingga bidang ini “tidak akan pernah runtuh” selama manusia butuh makan.
Mengapa Pemilihan Usaha Kuliner dan Apa yang Membuat Warungnya Bertahan
Idris menyatakan bahwa ia tidak punya latar belakang khusus di bidang restoran atau kuliner, bukan “turunan pedagang” kuliner ataupun pernah bekerja di perusahaan besar. Yang penting baginya: “dikasih resep, dijalankan, dengan pelayanan dan cita rasa yang konsisten”. Ia percaya bahwa dengan pelayanan sopan, keramahan, dan rasa makanan yang enak, pelanggan akan terus datang.
Menurutnya, “yang membedakan” Saung Intan dari warung lain adalah kombinasi rasa enak + pelayanan ramah + konsistensi. Penyajian “sambal / bumbu kuncian” sendiri, menurut Idris, menjadi ciri khas sesuatu yang sulit ditemukan di tempat lain.
Kritik & Pesan ke Pengelola – Agar Usaha UMKM Tidak Tercekik
Idris punya pesan tegas kepada pengelola pusat grosir/pasar tempatnya berjualan: turunkan biaya sewa / service charge. Dengan biaya tinggi, pedagang seperti ia sulit mendapatkan keuntungan yang layak, apalagi jika harus mengandalkan omzet hanya pada akhir pekan.
Ia berharap pengelola memahami kondisi pedagang kecil-menengah seperti dirinya, bahwa bagi mereka, warung bukan sekadar bisnis, melainkan cara hidup dan mencari nafkah. Jika beban terus besar, banyak pedagang bisa terancam berhenti, meski pengunjung banyak.
Mengapa Kisah Ini Relevan: Gambaran Masalah UMKM & Sewa Kios di Jakarta
Kisah Idris bukanlah kasus tunggal. Baru-baru ini, beberapa pusat kuliner / mal di Jakarta menghadapi gejolak karena kenaikan tarif sewa kios yang dianggap “memberatkan” yang bahkan menyebabkan banyak pedagang memilih hengkang.
Contoh paling terkini: di Plaza 2 Blok M, pusat kuliner/ritel di Jakarta Selatan, sejumlah pedagang UMKM ramai-ramai keluar setelah tarif sewa dianggap melonjak sangat tinggi.
Pemerintah (melalui Dinas PPKUKM DKI Jakarta) bahkan menemukan praktik penyalahgunaan izin kios di pasar lain, Pasar Barito, di mana puluhan kios dikuasai oleh segelintir pedagang besar dan kemudian disewakan kembali ke pedagang kecil, memperlihatkan ketidakadilan distribusi tempat berjualan.
Ini menunjukkan bahwa pedagang kecil/kuliner seperti Saung Intan berada dalam posisi rentan antara harapan omzet dari pengunjung, dan beban sewa/biaya operasional yang bisa saja melampaui pendapatan.
Penutup – Suara Pedagang Kecil yang Perlu Didengar
Melalui cerita Idris, kita memperoleh pandangan langsung dari pelaku usaha kuliner “kaki lima / warung kecil-menengah” di Jakarta, yang berusaha bertahan dengan modal sederhana: rasa, keramahan, dan harapan. Namun realitas keras: biaya tetap tinggi, fluktuasi omzet, dan ketidakpastian masa depan.
Kasus ini mengingatkan bahwa kebijakan sewa kios, tarif service charge, serta regulasi pengelolaan pusat grosir / pasar perlu memperhatikan keseimbangan antara hak pedagang kecil dan kepentingan pengelola, agar UMKM bisa terus hidup, berkembang, dan memberi pelayanan ke konsumen tanpa terbebani biaya tak masuk akal.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor Fahmy Nurdin




































