OPINI Oleh: Yusnita Fadila Riski, Rufaidah S.H,. M.H.
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang
SERANG – Pernikahan dini masih menjadi persoalan krusial di Indonesia, meskipun negara telah menunjukkan komitmen kuat melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menaikkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Regulasi ini sejatinya dirancang untuk melindungi anak dari risiko sosial, kesehatan, dan hukum yang mengancam masa depan mereka. Namun, realitas di lapangan menunjukkan praktik perkawinan anak masih terus berlangsung.
Celah hukum berupa dispensasi kawin kerap dijadikan legitimasi atas nama keadaan mendesak, seperti tekanan ekonomi atau kehamilan tidak diinginkan. Padahal, menikahkan anak justru melahirkan persoalan lanjutan yang lebih kompleks, mulai dari terputusnya akses pendidikan, tingginya risiko kesehatan ibu dan anak, hingga kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Dalam konteks ini, pernikahan dini bukan solusi, melainkan awal dari siklus kemiskinan dan ketidakadilan antargenerasi.
Dari perspektif perlindungan anak dan hak asasi manusia, pernikahan dini merupakan bentuk pelanggaran sistemik terhadap hak dasar anak, khususnya hak atas pendidikan, kesehatan, dan tumbuh kembang yang optimal. Oleh karena itu, pencegahan pernikahan dini tidak dapat hanya bertumpu pada regulasi hukum semata. Negara, masyarakat, keluarga, serta tokoh agama harus bersinergi membangun kesadaran kolektif, memperkuat edukasi kesehatan reproduksi, serta memastikan akses pendidikan dan perlindungan sosial yang merata. Melindungi anak dari pernikahan dini adalah investasi jangka panjang bagi kualitas generasi masa depan Indonesia.




































