JAKARTA – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengambil langkah tegas dengan menghentikan secara permanen aktivitas empat perusahaan tambang di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini diumumkan langsung oleh Menteri Sekretariat Negara, Prasetyo Hadi, pada Selasa (10/6) di Istana Negara.
“Atas petunjuk Bapak Presiden, beliau putuskan bahwa pemerintah akan mencabut izin usaha pertambangan untuk empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat,” ujar Prasetyo dalam konferensi pers resmi.
Keputusan ini dipertegas oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang menyatakan bahwa dari lima IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang beroperasi di kawasan tersebut, hanya satu yang memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) aktif: PT GAG Nikel. “Sisanya belum memperoleh RKAB 2025, dan seluruh kegiatan produksinya kami setop atas arahan Presiden,” ujar Bahlil.
Suara Kritis: Tambang Menggerus Identitas Raja Ampat
Sebelumnya, Polemik pertambangan di kawasan Raja Ampat memantik reaksi keras dari publik dan tokoh nasional. Praktisi hukum sekaligus seniman, Deolipa Yumara, menyatakan bahwa keputusan Presiden Prabowo adalah langkah berani yang harus didukung penuh.
“Raja Ampat itu ikon keindahan dunia, bukan lahan tambang. Begitu tambang masuk, habis sudah pesona karang, laut, dan citra Indonesia di mata internasional,” kata Deolipa dalam pernyataan eksklusif kepada okjakarta.com, Senin (9/6).
Ia menilai bahwa persoalan tambang bukan sekadar soal izin, tapi soal masa depan ekosistem dan martabat nasional. “Siapa yang kasih izin ini? Apakah mereka pernah pikir dampaknya ke lingkungan dan pariwisata?” tegasnya.
Deolipa juga mengkritik lemahnya koordinasi antarsektor dalam pengambilan keputusan, serta menduga adanya kelalaian struktural sejak izin-izin itu diterbitkan. Ia menyerukan peninjauan ulang terhadap seluruh IUP di wilayah sensitif secara menyeluruh.
Kerusakan Sosial dan Alam: “Ini Soal Moral, Bukan Sekadar Hukum”
Menurut Deolipa, keuntungan ekonomi jangka pendek yang dirasakan sebagian masyarakat tidak sebanding dengan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan. Ia menyebut bahwa tambang bisa menghilangkan identitas budaya dan pariwisata lokal yang selama ini menjadi kekuatan Raja Ampat.
“Masyarakat lokal mungkin dapat uang sebentar, tapi keindahan yang hilang tak bisa dikembalikan. Nanti orang tak lagi mengenal Raja Ampat sebagai surga laut, tapi sebagai proyek tambang gagal,” kecamnya.
Sebagai bentuk perlawanan, Deolipa menyatakan siap turun langsung dalam kampanye penyelamatan Raja Ampat melalui jalur hukum dan kesenian. Ia juga mendorong pendampingan hukum bagi warga yang menolak aktivitas tambang.
Seruan Terakhir: “Jangan Wariskan Kehancuran”
Dengan nada tegas, Deolipa menyerukan penghentian total pertambangan di Raja Ampat dan wilayah ekologis sensitif lainnya. “Sudah cukup. Biarkan sisa alam yang ada tetap lestari. Jangan sampai kita mewariskan kehancuran atas nama pembangunan,” tutupnya.
Langkah Presiden Prabowo ini menjadi ujian awal komitmen pemerintah terhadap kelestarian lingkungan. Di tengah sorotan dunia terhadap perubahan iklim dan krisis ekologis, Indonesia akhirnya mengambil posisi: menyelamatkan surga tropis dari kepungan industri ekstraktif.
Penulis : Fahmy Nurdin
Editor : Fahmy Nurdin