JAKARTA – Kasus dugaan kriminalisasi terhadap seorang buruh tani di Tanjungbalai, Sumatera Utara, menimbulkan gelombang kritik terhadap aparat penegak hukum daerah.
Kuasa hukum Erdi Surbakti secara resmi melaporkan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditkrimum) dan sejumlah penyidik Polda Sumatera Utara ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada Kamis (22/10/2025).
Laporan ini diajukan atas penetapan Cekmat, seorang buruh tani sekaligus penjaga kebun, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencurian beberapa buah kelapa di lahan yang diklaim milik PT Radita. Namun, menurut pihak kuasa hukum, tuduhan itu tidak memiliki dasar hukum kuat lantaran status kepemilikan lahan masih dalam sengketa hukum.
“Klien kami bukan pencuri. Ia bekerja sebagai penjaga kebun dan buruh tani. Justru ia menjadi korban kriminalisasi dalam konflik lahan antara warga dan perusahaan,” ujar Erdi Surbakti usai melapor di kantor Kompolnas, Jakarta, Kamis (22/10).
Erdi menilai, langkah penyidik Polda Sumut yang langsung menetapkan Cekmat sebagai tersangka tanpa pendalaman status tanah menunjukkan penyalahgunaan kewenangan dan mengabaikan prinsip keadilan substantif. Ia menilai, aparat seharusnya lebih berhati-hati dalam memproses perkara yang bernilai kecil dan melibatkan rakyat kecil.
“Ada pelanggaran prosedur. Polisi mestinya menelusuri dulu aspek hukum lahan, bukan serta-merta memproses laporan perusahaan. Kami meminta Kompolnas melakukan investigasi dan mengevaluasi kinerja penyidik,” tegasnya.
Tim kuasa hukum mengaku telah menyiapkan bukti-bukti pendukung, termasuk dokumen sengketa lahan yang masih berproses di pengadilan, surat keterangan kerja, serta kesaksian warga sekitar yang mengonfirmasi bahwa Cekmat memang bekerja menjaga kebun tersebut atas permintaan pemilik sebelumnya.
Menanggapi laporan itu, anggota Kompolnas Choirul Anam memastikan pihaknya akan menelaah laporan dengan cermat dan berkoordinasi dengan Mabes Polri. Ia menegaskan pentingnya penerapan prinsip proporsionalitas dan keadilan restoratif dalam setiap penanganan perkara rakyat kecil.
“Kalau perkara ini hanya menyangkut beberapa buah kelapa, seharusnya cukup diselesaikan dengan keadilan restoratif. Tak perlu sampai ke tingkat polda,” ujar Anam di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Anam mengingatkan bahwa Presiden dan Kapolri telah berulang kali menegaskan agar penegakan hukum terhadap masyarakat kecil dilakukan secara humanis, adil, dan berimbang, tanpa kriminalisasi yang berlebihan.
“Polisi harus berpedoman pada arahan itu. Kalau pun ada kesalahan, penyelesaiannya bisa berbentuk sanksi sosial yang mendidik dan bermanfaat bagi masyarakat, bukan pemidanaan yang merugikan keluarga miskin,” imbuhnya.
Kasus ini memicu perhatian luas karena dinilai mencerminkan masih lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat kecil di tengah dominasi kepentingan korporasi.
Sejumlah aktivis hukum dan lembaga masyarakat sipil menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja penyidik Polda Sumut, terutama dalam penanganan perkara-perkara dengan nilai kerugian kecil.
Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LKHKS), Samsul Bahri, menilai kasus ini sebagai ujian nyata bagi komitmen Polri dalam menjalankan prinsip “Presisi”.
“Perkara seperti ini tidak hanya soal hukum formal, tapi juga soal nurani. Kalau rakyat kecil terus dikriminalisasi karena konflik agraria, maka kepercayaan publik terhadap aparat akan terus merosot,” ujarnya.
Kuasa hukum Erdi Surbakti berharap laporan tersebut menjadi momentum perbaikan sistem hukum, khususnya dalam konteks perlindungan terhadap masyarakat miskin dan buruh tani di daerah-daerah konflik agraria.
“Kami tidak melawan hukum, kami memperjuangkan keadilan. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Kasus ini harus menjadi pelajaran agar aparat benar-benar berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan,” tegas Erdi.
Hingga berita ini diterbitkan, Polda Sumatera Utara maupun pihak PT Radita belum memberikan tanggapan resmi atas laporan yang disampaikan ke Kompolnas.
Publik kini menanti langkah nyata dari Kompolnas dan Mabes Polri untuk memastikan proses hukum berjalan objektif, transparan, dan sesuai asas keadilan bagi semua pihak.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































