JAKARTA – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjadi pihak terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (21/10/2025). Kedua organisasi profesi wartawan ini kompak menyampaikan pandangan bahwa ketentuan perlindungan bagi wartawan dalam Pasal 8 UU Pers sudah konstitusional, namun perlu diperkuat dalam pelaksanaannya agar lebih efektif di lapangan.
Permohonan uji materiil tersebut diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) yang diwakili Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono. Para pemohon menilai Pasal 8 UU Pers beserta penjelasannya masih multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasal 8 UU Pers menyebut bahwa wartawan memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Namun penjelasan pasal tersebut hanya menyebut perlindungan diberikan oleh pemerintah dan/atau masyarakat, tanpa menguraikan mekanisme konkret dalam pelaksanaannya. Menurut Pemohon, rumusan itu membuat jurnalis kerap berada dalam posisi rentan terhadap kriminalisasi, kekerasan, dan ancaman hukum.
Ketua Umum PWI, Akhmad Munir, dalam keterangannya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi menyampaikan bahwa Pasal 8 tetap memiliki semangat konstitusional yang kuat. Namun, pemerintah harus memperluas tafsir pelaksanaannya agar tidak berhenti pada tataran formal semata.
“Perlindungan hukum terhadap wartawan harus dimaknai aktif dan komprehensif, mencakup perlindungan hukum, fisik, digital, dan psikologis. Wartawan tidak boleh dibiarkan bekerja di bawah ancaman kekerasan atau kriminalisasi,” tegas Munir.
Ia menekankan pentingnya sinergi antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi profesi wartawan untuk mencegah tumpang tindih dalam penanganan kasus. Menurut Munir, perlindungan hukum terhadap wartawan bukan berarti memberi kekebalan hukum, melainkan memastikan jurnalis tidak dikriminalisasi karena menjalankan kerja jurnalistik yang sah.
“Pasal 8 adalah manifestasi dari Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Karena itu, kami berharap MK dapat menegaskan tafsir konstitusional yang memperkuat norma ini tanpa mengubah substansinya,” ujar Munir.
Pandangan senada disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal Bayu Wardhana. Menurutnya, petitum yang diajukan IWAKUM justru berpotensi mempersempit makna perlindungan jurnalis karena hanya menekankan aspek hukum sempit seperti perlindungan dari tuntutan pidana atau gugatan.
“Pasal 8 UU Pers sebenarnya sudah cukup tegas. Persoalannya bukan pada norma, tetapi pada lemahnya pelaksanaan dan kurangnya komitmen negara untuk benar-benar melindungi jurnalis,” ungkap Bayu.
AJI mencatat masih maraknya kekerasan terhadap jurnalis. Dalam laporan tahun 2024, terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis di berbagai daerah. Salah satu korban bahkan merupakan Pemohon II dalam perkara ini yang mengalami kekerasan saat liputan di Mako Brimob, Depok, pada 30 Agustus 2025.
Menurut Bayu, perlindungan terhadap jurnalis harus mencakup seluruh tahapan kerja jurnalistik, mulai dari pengumpulan data hingga publikasi berita. Ia juga menyoroti tindakan aparat yang kerap menyita ponsel atau memaksa jurnalis menghapus hasil liputan, padahal tindakan tersebut melanggar hukum acara pidana.
“Negara seharusnya hadir memberikan perlindungan hukum yang nyata, termasuk bantuan hukum bagi jurnalis yang dikriminalisasi, serta penegakan hukum terhadap aparat yang melakukan kekerasan agar ada efek jera,” tandas Bayu.
Sementara itu, IWAKUM dalam permohonannya berpendapat bahwa perlindungan hukum bagi wartawan semestinya diatur secara tegas sebagaimana profesi lain, seperti advokat dan jaksa.
“Advokat dan jaksa secara eksplisit dilindungi dari tuntutan hukum sepanjang menjalankan tugas dengan itikad baik. Wartawan juga membutuhkan jaminan serupa,” ujar Irfan Kamil.
IWAKUM juga menyinggung sejumlah kasus kriminalisasi wartawan, seperti Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto, yang dipidana karena karya jurnalistik. Menurut mereka, kasus-kasus ini menunjukkan lemahnya kepastian hukum dalam penerapan Pasal 8 UU Pers.
Pemerintah melalui keterangannya dalam persidangan menyatakan bahwa UU Pers sudah memberikan dasar hukum yang cukup bagi perlindungan wartawan. Mekanisme penyelesaian sengketa pers juga telah diatur melalui Dewan Pers, kode etik jurnalistik, hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi.
Namun, pemerintah mengakui perlunya evaluasi terhadap pelaksanaan norma di lapangan agar pelindungan terhadap jurnalis lebih efektif dan berkeadilan.
Sidang uji materiil Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 ini menjadi momentum penting bagi dunia pers nasional. MK diharapkan dapat memberikan tafsir konstitusional yang memperkuat posisi wartawan sebagai pelaksana amanat konstitusi dalam menjamin kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.
Apapun putusannya nanti, perkara ini membuka ruang diskusi lebih luas mengenai urgensi perlindungan komprehensif bagi jurnalis di tengah meningkatnya ancaman kekerasan dan kriminalisasi terhadap pekerja media di Indonesia.
Reporter: Matyadi
Editor: Fahmy Nurdin