JAKARTA – Suasana kebangsaan yang penuh keprihatinan sekaligus harapan mewarnai pertemuan penting di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (1/9/2025) sore hingga malam. Presiden Republik Indonesia menggelar silaturahmi bersama Ketua MPR, Ketua DPR, sejumlah menteri, pimpinan partai politik, tokoh ormas keagamaan, serikat buruh, hingga perwakilan organisasi pemuda lintas iman.
Pertemuan ini menjadi momentum bersejarah karena menghadirkan langsung para pemimpin lembaga keagamaan terbesar di Indonesia. Hadir Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), pimpinan PBNU, PP Muhammadiyah, serta tokoh lintas agama lainnya: Ketua Umum PGI Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty, Ketua KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, Ketua Umum PHDI Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum PERMABUDHI Philip K. Widjaja, dan Ketua Umum MATAKIN Budi Santoso Tanuwibowo.
Pertemuan berlangsung dalam suasana terbuka dan penuh kesetaraan, dengan tujuan menjaga tradisi dialog langsung antara ulama, pemimpin agama, dan kepala negara.
Aspirasi Ulama: Dari Kebebasan Bicara hingga Antikorupsi
Dalam forum tersebut, MUI menegaskan sejumlah poin penting yang mewakili kegelisahan sekaligus harapan masyarakat. Pertama, tentang kebebasan berbicara yang dijamin oleh UUD 1945. Ulama menekankan kebebasan itu harus dilaksanakan dengan etika, tanpa menimbulkan kerusakan sosial.
Kedua, penolakan terhadap tindak kriminalitas dan aksi vandalisme yang dinilai merusak tatanan kehidupan bersama. MUI mengingatkan, perbuatan anarkis tidak dibenarkan oleh agama maupun hukum negara.
Ketiga, dukungan penuh diberikan kepada pemerintah dalam penegakan hukum. Namun, MUI menekankan agar aparat bertindak secara profesional dan tidak represif agar tidak menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat.
Keempat, pengingat keras kepada para pejabat negara untuk berhati-hati dalam ucapan dan sikap. “Pejabat adalah pelayan rakyat, bukan penguasa,” demikian disampaikan MUI, seraya menegaskan pentingnya empati dan ketulusan dalam memimpin.
Kelima, desakan agar pemerintah dan DPR tidak membuat aturan yang menyulitkan rakyat. Setiap kebijakan, kata MUI, harus diuji manfaatnya bagi masyarakat, bukan sekadar menambah beban kehidupan sehari-hari.
Keenam, komitmen pemberantasan korupsi disuarakan dengan tegas. Ulama meminta pemerintah bersungguh-sungguh menindak praktik korupsi, sementara DPR didesak segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor sebagai bentuk nyata pengembalian hak rakyat.
Ketujuh, ajakan untuk bersatu dan melakukan muhasabah disampaikan kepada seluruh komponen bangsa. Introspeksi dinilai penting agar masyarakat tidak terjebak dalam sikap saling menyalahkan, melainkan mencari solusi bersama.
Kedelapan, apresiasi terhadap kesediaan Presiden membuka ruang dialog berkelanjutan. Kepala negara bahkan menyatakan kesediaannya untuk bertemu tokoh agama setiap bulan.
Suasana Pertemuan yang Cair dan Terbuka
Sejumlah peserta menilai, pertemuan itu berlangsung hangat, terbuka, dan penuh kejujuran. Para tokoh agama dapat menyampaikan pandangan tanpa ada yang ditutup-tutupi. Bagi MUI, dialog ini adalah langkah strategis untuk mempererat sinergi antara pemimpin agama dengan pemegang kebijakan negara.
“Ini adalah awal dari tradisi baik yang harus dijaga. Dengan dialog rutin, insya Allah bangsa kita dapat menemukan solusi terbaik atas berbagai persoalan,” ujar Ketua Umum MUI.
Makna Strategis bagi Persatuan Bangsa
Pengamat menilai, inisiatif Presiden membuka ruang komunikasi lintas agama ini merupakan upaya memperkuat persatuan nasional di tengah tantangan sosial dan politik yang kian kompleks. Dengan menghadirkan semua pihak di satu meja, pemerintah diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat.
Dialog di Istana Negara ini pun menjadi cermin bahwa demokrasi Indonesia masih menjaga semangat musyawarah, bukan hanya sekadar prosedur politik. Lebih jauh, ia menghidupkan kembali tradisi bangsa: menyelesaikan masalah melalui komunikasi, kebijaksanaan, dan niat tulus membangun negeri.