JAKARTA – Gelombang penolakan terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin meluas. Kali ini, Koalisi Warga Tolak MBG secara tegas mendesak pemerintah menghentikan program yang diklaim sebagai solusi penanganan stunting, namun justru menimbulkan sederet persoalan serius.
Dalam keterangan pers di Jakarta, 1 Oktober 2025. Koalisi menilai MBG telah gagal memenuhi hak anak atas pangan yang sehat, aman, dan bergizi. Sebaliknya, program yang dikelola secara sentralistik tersebut berubah menjadi sumber kerentanan baru dengan maraknya kasus keracunan massal di berbagai daerah, tata kelola yang minim transparansi, hingga indikasi praktik rente.
“Program ini tidak hanya salah arah, tetapi juga berbahaya. Ribuan anak menjadi korban keracunan, sementara kualitas makanan yang disajikan jauh dari standar gizi. Ini bukan pemenuhan hak, melainkan bentuk pengabaian,” tegas perwakilan Koalisi, dilansir okjakarta.com, Sabtu (4/10/2025).
Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga 21 September 2025 tercatat 6.452 kasus keracunan akibat konsumsi makanan MBG. Angka ini melonjak dari 5.360 kasus hanya dalam sepekan. Jawa Barat menjadi wilayah dengan kasus terbanyak, mencapai 2.012 anak, disusul DIY (1.047 kasus), Jawa Tengah (722 kasus), Bengkulu (539 kasus), dan Sulawesi Tengah (446 kasus).
Kasus terbesar terjadi di Bandung, di mana lebih dari seribu pelajar harus dirawat setelah menyantap makanan yang dibagikan melalui program tersebut. Selain kualitas makanan yang dipertanyakan, ditemukan pula menu berbasis makanan ultra-proses dan minuman berpemanis, yang jelas bertentangan dengan prinsip gizi seimbang.
“Pemerintah masih memandang pangan sebagai komoditas, bukan hak dasar. Anak-anak dipaksa mengonsumsi makanan rendah kualitas yang justru membahayakan kesehatan mereka,” kritik Koalisi.
Koalisi juga menyoroti model pengelolaan MBG yang disebut sentralistik dan militeristik. Badan Gizi Nasional (BGN) disebut mengendalikan penuh jalannya program tanpa melibatkan dinas kesehatan, dinas pendidikan, sekolah, maupun orang tua. Distribusi makanan bahkan melibatkan aparat bersenjata, sehingga menciptakan atmosfer yang tidak ramah bagi anak.
Di sisi lain, tata kelola program dinilai tertutup. JPPI menemukan 70% sekolah tidak mendapatkan informasi resmi mengenai standar gizi maupun jadwal distribusi. Penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Maret–April 2025 juga menemukan persoalan serupa di Jakarta: distribusi kerap terlambat hingga tiga jam, keluhan siswa maupun guru tidak direspons, serta data penerima yang tidak dibuka ke publik.
“Ketertutupan ini hanya memperbesar potensi diskriminasi dan melemahkan kontrol masyarakat,” tegas peneliti ICW.
Besarnya anggaran MBG disebut rawan menjadi lahan rente dan korupsi. Koalisi menemukan adanya praktik pemotongan dana oleh yayasan pengelola dapur yang mengakibatkan kualitas makanan menurun drastis. Beberapa Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) di daerah juga mengaku pembayaran dari pemerintah sering terlambat, memicu konflik kepentingan dengan penyedia jasa katering.
“Ketika praktik rente dibiarkan, yang dirugikan adalah anak-anak yang terpaksa mengonsumsi makanan basi, sementara dana miliaran rupiah tetap digelontorkan,” papar pernyataan resmi Koalisi.
Tak hanya soal keamanan pangan, Koalisi menilai MBG membebani anggaran pendidikan nasional. Dari total RAPBN 2026 sebesar Rp 757 triliun, 30–44 persen diantaranya tersedot untuk MBG. Padahal, menurut catatan, masih terdapat 4,2 juta anak putus sekolah, lebih dari 60 persen sekolah dasar dalam kondisi rusak, dan jutaan guru yang belum bersertifikasi.
Selain itu, program ini juga mengganggu ekosistem sekolah. Guru harus menangani distribusi makanan dan mencatat alergi siswa, kantin sekolah kehilangan pemasukan, sementara orang tua dan komunitas lokal tersisih dari pemenuhan gizi anak.
Atas berbagai temuan tersebut, Koalisi Warga Tolak MBG menyampaikan enam tuntutan utama kepada pemerintah:
• Menghentikan program MBG yang sentralistik, militeristik, dan bermasalah.
• Menuntut pertanggungjawaban Presiden, BGN, SPPG, dan pengelola dapur atas ribuan kasus keracunan anak.
• Mendesak pembentukan tim pencari fakta independen untuk mengusut kasus keracunan massal dan memberikan pemulihan kepada korban.
• Meminta BPK, BPKP, dan KPK melakukan audit investigatif terhadap proyek MBG.
• Mengusut praktik rente dan dugaan korupsi yang terjadi, serta menindak tegas para pelakunya.
• Mengembalikan pemenuhan gizi anak kepada komunitas, sekolah, dan pemerintah daerah dengan sistem transparan, partisipatif, serta berbasis kebutuhan anak.
Hingga berita ini diturunkan, pihak pemerintah melalui Badan Gizi Nasional belum memberikan tanggapan resmi atas tuntutan Koalisi.
Namun, sejumlah pejabat sebelumnya menyatakan bahwa MBG tetap akan dilanjutkan dengan alasan sebagai bagian dari program prioritas nasional.
Meski begitu, tekanan publik semakin kuat. Dengan meningkatnya jumlah korban keracunan, desakan agar pemerintah mengevaluasi serius bahkan menghentikan MBG tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.
Penulis: ICW
Editor: Fahmy Nurdin