JAKARTA – Tantangan perubahan iklim kian menempatkan sektor perumahan sebagai garis depan ketahanan nasional. Di tengah meningkatnya frekuensi bencana alam, pembangunan hunian yang adaptif terhadap iklim dinilai bukan lagi pilihan kebijakan, melainkan kebutuhan mendesak bagi Indonesia sebagai salah satu negara paling rentan bencana di dunia.
Kementerian Kesehatan RI melalui Pusat Krisis Kesehatan mencatat, hampir 80 persen kejadian bencana di Indonesia berkaitan langsung dengan fenomena hidroklimatologi, seperti banjir, longsor, banjir bandang, kekeringan, angin puting beliung, hingga gelombang pasang dan badai.
Dampak tersebut dirasakan paling berat oleh masyarakat berpenghasilan rendah, terutama perempuan yang tinggal di kawasan permukiman informal, baik dari sisi kesehatan, keselamatan, maupun meningkatnya biaya hidup akibat kekeringan, kenaikan suhu ekstrem, dan naiknya permukaan air laut. Tekanan ekonomi akibat perubahan iklim juga menjadi sorotan pemerintah.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, dalam media briefing Kemenkeu pada 29 Mei 2024, mengungkapkan bahwa tanpa langkah adaptasi yang serius, perubahan iklim berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga 2,87 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahun pada 2045.
Merespons kondisi tersebut, Habitat for Humanity Indonesia menegaskan urgensi menjadikan ketangguhan iklim sebagai fondasi pembangunan perumahan nasional.
Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia, Handoko Ngadiman, menyampaikan bahwa program pembangunan tiga juta rumah per tahun yang dicanangkan pemerintah merupakan momentum strategis untuk mengintegrasikan prinsip desain adaptif iklim ke dalam kebijakan perumahan.
“Bagi Habitat for Humanity, perumahan tangguh iklim adalah keharusan. Selain desain dan konstruksi, skema pembiayaan yang inklusif dan fleksibel, seperti pembiayaan mikro serta peningkatan rumah secara bertahap, menjadi kunci agar masyarakat berpenghasilan rendah, rumah tangga yang dikepalai perempuan, dan kelompok rentan tidak tertinggal,” ujarnya dalam keterangan yang diterima redaksi, Senin (22/12/2025).
Gagasan tersebut mengemuka dalam sebuah lokakarya lintas sektor yang dimoderatori oleh Dr. Saut Sagala, Global Resilience Specialist dari RDI sekaligus Associate Professor Institut Teknologi Bandung (ITB). Forum ini mempertemukan pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, lembaga keuangan, hingga pelaku inovasi untuk menyelaraskan kebijakan adaptasi perubahan iklim di sektor perumahan.
Hasil diskusi merumuskan sejumlah temuan kunci. Pertama, ketahanan iklim dalam pembangunan perumahan telah diamanatkan dalam dokumen perencanaan nasional RPJPN dan RPJMN, serta terhubung dengan sektor air minum, sanitasi, dan tata ruang hingga level rumah tangga. Namun, implementasi di tingkat tapak dinilai belum berjalan konsisten, meskipun sektor perumahan memiliki peran krusial dalam agenda adaptasi nasional.
Temuan lainnya menunjukkan bahwa penerapan desain passive cooling berbasis kondisi lokal terbukti efektif meningkatkan kenyamanan termal dan kualitas udara di dalam rumah. Studi kasus di Desa Wunung, Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, menunjukkan bahwa pendekatan desain sederhana berbasis iklim lokal mampu menghadirkan hunian yang lebih sejuk dan sehat tanpa ketergantungan pada energi tambahan.
Koordinator Bidang Perumahan Kementerian PPN/Bappenas, Ira Lubis, ST., MIDP, menegaskan perlunya kerangka kebijakan yang mendukung keterjangkauan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Menurutnya, integrasi desain adaptif iklim dalam program pembangunan rumah nasional memerlukan enabler berupa regulasi dan skema pendukung agar target hunian layak dan tangguh pada 2030 dapat tercapai.
Dari sisi lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup menekankan bahwa mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam sektor bangunan harus berjalan beriringan. Staf Ahli Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim, Khairunnisa Destyany Qatrunnada, menyatakan bahwa upaya mengadaptasi bangunan sekaligus mengurangi emisi karbon merupakan pendekatan yang saling memperkuat.
“Penggunaan material rendah karbon, perbaikan sistem drainase, dan desain yang mempertimbangkan risiko iklim tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga membantu menjaga kohesi sosial agar masyarakat tetap bertahan di lokasi asalnya,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Prof. Ir. Suparwoko, MURP., Ph.D. dari Universitas Islam Indonesia, yang menilai Indonesia membutuhkan panduan teknis perumahan adaptif yang kontekstual dan mudah diterapkan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah agar kebijakan tidak berhenti pada tataran normatif.
Lokakarya tersebut juga menyoroti pentingnya ekosistem pembiayaan yang mendukung peningkatan kualitas rumah secara bertahap. Tadianto Slamet Saputro dari Komida menekankan perlunya indikator ketangguhan yang dirancang secara progresif, sehingga proses perbaikan rumah tetap terjangkau bagi komunitas MBR.
Sementara itu, Novita Tan, Co-founder dan CEO Rebricks, memaparkan peluang penerapan ekonomi sirkular dalam sektor konstruksi. Pemanfaatan material daur ulang dinilai mampu mengurangi risiko iklim sekaligus menciptakan nilai ekonomi baru dan membuka lapangan kerja di tingkat lokal.
Sebagai penutup, Habitat for Humanity Indonesia merangkum sejumlah rekomendasi utama, antara lain penerapan pendekatan berbasis bukti melalui pengukuran dampak sebelum dan sesudah intervensi, penguatan peran komunitas dengan pemanfaatan material lokal dan pelatihan tukang, serta pelaksanaan proyek percontohan di wilayah rawan bencana untuk menguji efektivitas panduan teknis perumahan adaptif.
Habitat for Humanity Indonesia berharap hasil lokakarya ini menjadi pijakan kolaborasi jangka panjang melalui skema Public Private Partnership (PPP) guna mempercepat terwujudnya hunian yang layak, aman, dan tangguh iklim bagi masyarakat Indonesia.
Didirikan pada 1976 di Amerika Serikat, Habitat for Humanity merupakan organisasi nirlaba global yang kini beroperasi di lebih dari 70 negara. Di Indonesia sejak 1997, Habitat telah mendukung lebih dari 200.000 keluarga dalam membangun dan memperbaiki rumah, sebagai bagian dari upaya mewujudkan kehidupan yang lebih aman, stabil, dan mandiri di tengah tantangan perubahan iklim.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































