JAKARTA – Aksi damai memperingati Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025 berubah menjadi tragedi ketika aparat keamanan diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap peserta aksi. Puluhan buruh dan elemen masyarakat yang turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut keadilan sosial justru menjadi korban tindakan represif yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) melaporkan adanya dugaan kuat pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama pengamanan aksi tersebut. Sebanyak 14 orang peserta aksi ditangkap secara paksa dan ditetapkan sebagai tersangka tanpa alasan hukum yang jelas oleh Polda Metro Jaya.
Tidak hanya itu, TAUD juga mengungkap bahwa sebagian peserta mengalami kekerasan fisik, verbal, bahkan dugaan kekerasan seksual oleh sejumlah orang yang diduga sebagai aparat, namun tidak mengenakan atribut kepolisian resmi. Insiden ini disebut terjadi di bawah flyover Lucky, Jakarta, pada saat massa aksi sedang membubarkan diri secara damai.
“Kami memiliki bukti berupa video, foto, dan kesaksian langsung yang menunjukkan terjadinya tindakan kekerasan oleh aparat terhadap para peserta aksi,” ungkap Guntur dari TAUD dalam keterangan pers di Mabes Polri, Senin (16/6). “Bentuk-bentuk kekerasan ini termasuk pengeroyokan, penganiayaan, hingga tindakan pelecehan verbal yang tidak pantas.”
TAUD menyatakan telah melaporkan dugaan pelanggaran pidana ke Bareskrim Polri, serta mengajukan pengaduan etik dan pelanggaran prosedur hukum ke Divisi Propam dan Wasidik Mabes Polri. Mereka menegaskan bahwa tindakan aparat tidak hanya mencederai hukum, tapi juga mengancam prinsip demokrasi dan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
“Buruh dan warga negara yang menyuarakan haknya bukan musuh negara. Polisi seharusnya melindungi, bukan malah menjadi pelaku kekerasan,” tegas Andri, anggota TAUD.
Pernyataan keras juga disampaikan oleh orang tua dari salah satu korban. Dalam keterangannya, ia mengaku kecewa dan marah atas perlakuan yang diterima anaknya. “Saya izinkan anak saya turun ke jalan untuk belajar mencintai Indonesia. Tapi yang dia dapatkan justru cacian, kekerasan, bahkan pelecehan dari mereka yang seharusnya mengayomi.”
TAUD menegaskan bahwa laporan ini bukan sekadar respons terhadap insiden Mei lalu, namun juga bentuk desakan agar tidak terjadi impunitas terhadap pelaku kekerasan dari institusi negara. Mereka menuntut Polri untuk segera menindaklanjuti laporan ini dengan penyelidikan yang objektif dan transparan.
Dengan mendekatnya Hari Bhayangkara pada 1 Juli mendatang, TAUD mengajak institusi Polri untuk melakukan introspeksi dan pembenahan internal. “Kami tidak menolak polisi, kami menolak kekerasan. Sudah saatnya Polri membuktikan bahwa mereka benar-benar menjadi pelindung rakyat, bukan pelaku pelanggaran,” pungkas Guntur.
Pihak Kepolisian hingga berita ini diturunkan belum memberikan keterangan resmi terkait laporan dan tuduhan yang diajukan oleh TAUD. Redaksi akan terus mengikuti perkembangan dan akan memperbarui berita ini apabila ada tanggapan dari pihak terkait.
Penulis : Fahmy Nurdin
Editor : Fahmy Nurdin