JAKARTA – Polemik antara dua pengacara kondang, Firdaus Oibowo, S.H., dan Hotman Paris Hutapea, kembali menghangat. Kuasa hukum, Firdaus Oibowo, S.H., Deolipa Yumara bersama timnya, secara tegas menanggapi pernyataan Hotman yang dinilai telah melampaui batas kewenangan hukum dengan menyebut seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka sebelum adanya pengumuman resmi dari Mabes Polri.
Dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (6/10/2025), Firdaus menilai tindakan Hotman tersebut sebagai bentuk arogansi hukum dan pelanggaran etika profesi.
“Saya datang ke sini menyikapi bualan Hotman Paris. Ini bukan sekadar omongan kosong, karena beliau sudah mendahului kewenangan Mabes Polri. Harusnya yang menyatakan seseorang tersangka atau tidak itu hanya pihak Mabes Polri, bukan advokat seperti Hotman,” tegas Firdaus di hadapan awak media.
Lebih jauh, Firdaus menyebut gaya komunikasi Hotman di ruang publik kerap mencerminkan sikap sombong dan tidak menghormati proses hukum.
“Hotman ini orangnya jumawa, sombong, dan belum menunjukkan penyesalan. Kalau merasa benar, buktikan di pengadilan, bukan di depan kamera,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa profesi advokat tunduk pada mekanisme etik, bukan langsung pada hukum pidana umum.
“Kalau saya dianggap melanggar etik, harusnya disidangkan di dewan etik advokat. Tapi faktanya, belum ada sidang etik, belum ada surat pemecatan. Jadi penerapan pasal KUHP terhadap saya itu keliru,” tambahnya.
Disisi lain Deolipa mengungkapkan, status dan legalitas profesi Firdaus sebagai advokat saat ini sedang dikaji di berbagai lembaga tinggi negara.
“Prosesnya sedang berjalan di DPR RI, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, dan Ombudsman. Jadi jangan dulu dipaksakan saya kena pasal pidana. Hukum harus proporsional dan berimbang,” katanya.
Pernyataan itu mempertegas posisi Firdaus bahwa dirinya masih aktif secara hukum sebagai advokat sampai ada keputusan etik yang sah dan final.
Sementara itu, Deolipa juga menyoroti dugaan adanya pelanggaran serius jika benar Hotman Paris memperoleh informasi terkait status hukum Firdaus dari pihak kepolisian.
“Kalau benar ada bocoran dari Mabes Polri, itu pelanggaran berat. Rahasia negara tidak boleh disebarkan ke publik, apalagi kepada pihak yang bukan aparat penegak hukum,” tegas Deolipa.
Menurutnya, kebocoran informasi semacam itu bisa mencederai integritas institusi kepolisian dan menimbulkan persepsi negatif terhadap proses hukum di Indonesia.
Deolipa Yumara juga mendesak agar organisasi profesi advokat menegakkan disiplin internal.
“Organisasi pengacara harus menegur anggotanya bila terlalu berlebihan berbicara di media. Etika profesi harus dijaga agar marwah advokat tidak jatuh di mata publik,” ucapnya.
Deolipa menegaskan bahwa pejabat publik tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk menekan atau memenjarakan warga sipil, termasuk advokat.
“Pejabat publik itu pelayan rakyat, bukan penguasa rakyat. Kalau bicara hukum, harus berdasarkan konstruksi yang benar. Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa advokat punya mekanisme etik sendiri,” tuturnya.
Meski keras terhadap pihak-pihak tertentu, Deolipa tetap menunjukkan rasa hormat terhadap lembaga yudikatif.
“Saya tetap menghormati Mahkamah Agung, pengadilan tinggi, dan pengadilan negeri. Mereka orang tua saya dalam dunia hukum. Tapi kalau ada kekeliruan, ya harus dikoreksi,” katanya diplomatis.
Kasus ini bermula dari beredarnya video Firdaus Oibowo yang berdiri di atas meja saat berargumen di ruang sidang. Aksi itu viral di media sosial dan memicu perdebatan publik. Sebagian menilai tindakan tersebut tidak pantas dan mencoreng citra advokat, sementara sebagian lain menyebutnya sebagai bentuk ekspresi spontan pembelaan hukum.
Hotman Paris kemudian ikut berkomentar dengan menyebut aksi Firdaus berpotensi berujung pada proses hukum. Namun, pernyataan itu justru memicu reaksi keras dari kubu Firdaus yang menilai Hotman telah mendahului proses hukum dan melampaui batas etika profesi.
Polemik antara dua figur hukum ini kini berkembang menjadi isu etika dan kewenangan institusional dalam sistem peradilan. Publik menantikan langkah tegas dari organisasi advokat dan penjelasan resmi dari Mabes Polri untuk memastikan proses hukum berjalan sesuai koridor dan tidak dipengaruhi opini publik.
Dengan demikian, kasus “pengacara naik meja” tidak lagi sekadar soal gaya berargumen di pengadilan, tetapi juga menjadi cerminan pertarungan moral dan integritas di tubuh profesi hukum Indonesia.
Penulis: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin