JAKARTA – Persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan impor gula yang menjerat Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur (BMM) Hans Falita Utama bersama empat terdakwa lainnya kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2025).
Sidang kali ini beragenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung terhadap seluruh terdakwa. Dalam tuntutannya, JPU menilai para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor.
Kelima terdakwa masing-masing dituntut pidana penjara selama empat tahun, denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti dengan jumlah bervariasi sesuai dengan perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Usai persidangan, Kuasa Hukum terdakwa Hans Falita Utama, Agus Sudjatmoko, S.H., M.H., menyampaikan tanggapannya kepada awak media. Ia menilai bahwa tuntutan JPU tidak mencerminkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
“Pada intinya, semua terdakwa dikenakan pasal yang sama dan dituntut dengan hukuman yang sama. Tapi kami melihat, banyak fakta penting yang muncul selama persidangan justru tidak dipertimbangkan oleh Jaksa,” ujar Agus kepada wartawan di Pengadilan Tipikor.
Menurutnya, JPU seolah mengabaikan fakta hukum yang telah dibuka secara terang di persidangan, termasuk soal pemberian abolisi (penghapusan perbuatan pidana) kepada salah satu pihak yang disebut-sebut sebagai pelaku utama dalam perkara ini.
“Fakta tentang abolisi terhadap salah satu pihak, yakni mantan pejabat Kementerian Perdagangan, sama sekali tidak disinggung. Padahal itu sudah jelas terungkap di depan publik,” tegas Agus.
Selain itu, Agus juga menyoroti tidak adanya analisis Jaksa terhadap Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana. Ia menilai pasal ini krusial untuk menentukan konstruksi hukum siapa pelaku utama dan siapa pihak yang hanya ikut serta.
“Dakwaan ini berkaitan dengan persetujuan impor gula yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Kalau begitu, pelaku utama seharusnya adalah pejabat yang menerbitkan izin itu, bukan pelaku usaha seperti klien kami,” paparnya.
Agus juga menyebut bahwa dalam surat tuntutan, JPU tidak memberikan analisis hukum yang jelas terhadap peran masing-masing terdakwa, termasuk posisi Hans Falita Utama selaku Direktur Utama PT BMM yang menurutnya hanya menjalankan proses administrasi sesuai ketentuan.
Lebih lanjut, Agus menyoroti adanya kesalahan dalam penilaian barang impor yang dijadikan dasar dalam perhitungan kerugian negara.
Menurutnya, PT Berkah Manis Makmur pada tahun 2016 telah memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Menteri Keuangan untuk bahan baku dan mesin pabrik yang baru beroperasi.
“Faktanya, perusahaan kami mengimpor gula kristal rafinasi (GKR), bukan gula kristal putih (GKP) sebagaimana dikatakan Jaksa. Pabrik kami baru beroperasi, dan menurut ketentuan, bahan baku untuk pabrik baru dibebaskan dari bea masuk. Ini juga sudah kami buktikan dengan surat keputusan resmi,” jelasnya.
Namun, kata Agus, bukti surat keputusan dari BKPM itu tidak dijadikan pertimbangan oleh penuntut umum dalam tuntutannya.
Dalam kesempatan yang sama, Agus menilai bahwa tuntutan JPU tampak disusun tanpa memperhatikan jalannya proses persidangan.
“Kalau saya melihat, seolah-olah tuntutannya sudah disiapkan jauh sebelum persidangan berakhir. Fakta yang muncul di persidangan, keterangan saksi, maupun ahli tidak dijadikan bahan pertimbangan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pembelaan atau pleidoi dari pihak terdakwa akan diajukan pada Selasa, 21 Oktober 2025, dan akan menyoroti dua hal utama: pengabaian fakta hukum terkait abolisi dan penerapan Pasal 55 KUHP.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung belum memberikan tanggapan resmi atas kritik yang dilayangkan oleh kuasa hukum terdakwa.
Sementara itu, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua I Made Sudarma, S.H., M.H., menunda sidang dan memberi kesempatan kepada tim kuasa hukum seluruh terdakwa untuk menyusun nota pembelaan.
Perkara ini bermula dari dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin impor gula pada tahun 2016–2017. Kementerian Perdagangan diduga menerbitkan surat persetujuan impor (SPI) tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian sebagaimana dipersyaratkan.
Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian keuangan akibat perbedaan tarif bea masuk antara jenis gula yang diimpor dan ketentuan yang berlaku.
Dalam perkara ini, Hans Falita Utama bersama empat terdakwa lain dari pihak swasta disebut mendapat keuntungan dari pelaksanaan impor tersebut.
Namun, pihak terdakwa menegaskan bahwa kegiatan impor telah dilakukan berdasarkan izin resmi pemerintah dan tidak ada unsur memperkaya diri sendiri maupun pihak lain secara melawan hukum.
Kasus impor gula ini menjadi salah satu perkara penting yang disorot publik karena melibatkan sinergi antara sektor swasta dan pejabat pemerintah dalam tata niaga pangan strategis nasional.
Publik kini menantikan langkah Majelis Hakim dalam mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang telah disampaikan selama persidangan. Sidang lanjutan dijadwalkan pada 21 Oktober 2025 dengan agenda pembacaan pleidoi dari pihak terdakwa.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin