JAKARTA – Praktisi hukum senior sekaligus mediator bersertifikat, Hartono Tanuwidjaja, S.H., M.Si., M.H., CBL., CMed., CIRP., C.EI., CLCT., CDRP., CCD., CPFI., CCFE., CFA., CTM., CHRBP., CLC., CCLM., CCAP., CDRA., CLOP., CCM., CLR., CCNP., CBLS., CMLE., CCLA., CLL., CICEL., CAIC., CBCP., CBLI., CLSC., CIIMS., mengungkapkan keprihatinannya terhadap belum kuatnya dasar hukum dan sistem kerja bagi mediator non-hakim di lingkungan peradilan Indonesia.
Dalam keterangannya kepada awak media di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025), Hartono menilai bahwa posisi dan kewenangan mediator non-hakim masih belum memiliki kejelasan yang tegas dalam aturan perundang-undangan. Hal ini berdampak pada lambatnya proses penyelesaian perkara melalui mediasi serta berpotensi menimbulkan tumpang tindih peran antara mediator hakim dan mediator non-hakim.
“Selama ini masyarakat tahunya mediasi itu dilakukan oleh hakim mediator. Padahal, mediator non-hakim juga memiliki peran penting. Tapi istilah dan sistemnya masih abu-abu, belum cukup kuat dari sisi regulasi,” ujar Hartono.
Hartono yang dikenal sebagai advokat, legal consultant, mediator, dan fraud investigator di bawah bendera Hartono Tanuwidjaja & Partners (Advocates & Legal Consultants) itu menjelaskan, di lapangan sering muncul perbedaan kebijakan antar-pengadilan negeri (KPN) dalam menerapkan mekanisme mediasi.
“Tiap KPN itu punya kebijakan sendiri-sendiri. Ada yang membentuk tim koordinasi seperti KSB (Koordinator, Sekretaris, Bendahara), ada yang bekerja sama dengan organisasi tertentu untuk penugasan mediator. Tapi belum ada sistem nasional yang seragam,” jelasnya.
Hartono juga menyinggung fenomena bahwa sebagian kegiatan mediasi di sejumlah pengadilan seringkali tidak berjalan maksimal, bahkan cenderung bersifat formalitas. Ia menilai masih ada mediator yang sekadar hadir untuk membuka acara atau berfoto simbolis tanpa pendalaman substansi perkara.
“Kalau kemarin itu misalnya, ada kegiatan hari Jumat minggu lalu. Beliau (mediator) datang hanya 5–10 menit, sekadar memberikan kata pengantar, lalu foto bersama. Padahal esensi mediasi itu membantu para pihak mencari solusi damai, bukan seremonial,” tegas Hartono.
Lebih jauh, Hartono menekankan pentingnya pemisahan yang jelas antara fungsi publik relation (PR) dan tugas substansial mediator. Menurutnya, mediator sejatinya bertugas membantu hakim mempercepat penyelesaian perkara dengan cara damai, bukan sekadar pelengkap kegiatan peradilan.
“Kita ini mau bantu hakim. Tapi jangan sampai peran mediator hanya jadi alat promosi. Ada pihak yang bahkan dapat anggaran besar, tapi kerja mediasi di lapangan justru tidak efektif,” ujarnya dengan nada kritis.
Dalam kesempatan yang sama, Hartono juga menyinggung isu kesejahteraan dan penghargaan bagi para mediator, terutama yang berasal dari kalangan non-hakim. Menurutnya, peran mereka sering diabaikan, padahal kontribusinya signifikan dalam mengurangi beban perkara di pengadilan.
“Ironinya, ada yang dapat bayaran besar, bahkan sampai puluhan miliar, tapi kita yang kerja membantu hakim justru diminta bekerja tanpa dukungan anggaran. Ini yang harus dibenahi,” katanya.
Hartono menegaskan, ke depan perlu ada penguatan sistem mediasi nasional yang berbasis pada prinsip profesionalitas, transparansi, dan keadilan. Ia mengusulkan agar Mahkamah Agung bersama lembaga terkait segera menyusun pedoman baku dan mekanisme sertifikasi terpadu bagi mediator non-hakim agar kedudukannya sejajar dengan mediator hakim dalam hal tanggung jawab dan perlindungan hukum.
Selain kiprahnya di dunia hukum, Hartono Tanuwidjaja juga dikenal aktif di berbagai bidang, termasuk olahraga dan organisasi profesi. Ia merupakan anggota Boxing Camp serta tercatat sebagai bagian dari KTI (Komite Tinju Indonesia), KTPI (Komite Tinju Profesional Indonesia), FII (Forensic Investigator Indonesia), dan FTPI (Forum Tenaga Profesional Indonesia). Tak hanya itu, ia juga dikenal sebagai boxing promoter yang berkomitmen memajukan olahraga tinju nasional dengan prinsip sportivitas dan profesionalisme.
Menutup keterangannya, Hartono mengingatkan bahwa penegakan keadilan tidak hanya bergantung pada hakim, tetapi juga pada sinergi berbagai pihak termasuk mediator, advokat, dan masyarakat.
“Kita butuh sistem hukum yang tidak hanya kuat di atas kertas, tapi juga adil dan nyata di lapangan. Mediasi adalah jantung keadilan restoratif—dan mediator harus diberi tempat yang terhormat,” pungkasnya dengan tegas.
Dengan pandangan yang tajam dan kritis, Hartono Tanuwidjaja kembali menegaskan posisinya sebagai sosok profesional yang konsisten mendorong reformasi hukum dan keadilan sosial di Indonesia, baik di ruang sidang maupun di arena publik.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin

					





						
						
						
						
						




























