OPINI: Oleh: Rino Dedi Aringga S.Pd., M.H., Akademisi/Pengajar Ilmu Hukum Universitas Pamulang
OPINI – Aksi demonstrasi selalu menjadi ruang penting dalam demokrasi Indonesia. Di jalanan, publik menyuarakan kritik, menantang kebijakan, dan menagih kehadiran negara untuk mendengar aspirasi mereka. Namun di ruang yang sama, ada aparat kepolisian yang memikul tanggung jawab menjaga ketertiban dengan risiko yang tidak kecil. Ketegangan di antara dua kepentingan ini kerap memunculkan gesekan bahkan benturan yang menyisakan pertanyaan besar: apakah perlindungan hukum bagi anggota Polri sudah benar-benar memadai?
Dalam praktiknya, demonstrasi sering berubah menjadi arena penuh tekanan. Provokasi, eskalasi massa, hingga potensi kekerasan menjadi situasi yang nyata di lapangan. Di tengah dinamika itu, anggota Polri dituntut profesional, humanis, dan mampu mengambil keputusan terukur. Tidak jarang mereka menjadi sasaran serangan fisik maupun verbal yang dapat mengancam keselamatan. Kondisi inilah yang menegaskan pentingnya kerangka perlindungan hukum yang jelas dan kuat bagi aparat.
Landasan konstitusi melalui Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memang menjamin kebebasan menyampaikan pendapat. Namun kebebasan tersebut tidak berdiri sendiri. Ada batasan yang mengharuskan publik tetap menghormati aturan hukum dan aparat negara yang bertugas. Polri, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, mengemban mandat menjaga keamanan publik. Dalam menjalankan kewajiban itu, negara berkewajiban memberi jaminan perlindungan agar setiap anggota Polri dapat bertugas tanpa intimidasi maupun ancaman.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa aparat penegak hukum memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Ketentuan ini menempatkan anggota Polri sebagai subjek hukum yang juga berhak atas rasa aman—bukan hanya sebagai penegak aturan, tetapi juga sebagai warga negara.
Kebijakan internal melalui Peraturan Kapolri mengenai penanganan kerusuhan menghadirkan panduan teknis yang menekankan proporsionalitas tindakan. Protokol ini mengarahkan agar langkah-langkah aparat tidak berlebihan namun tetap efektif dalam meminimalkan risiko di lapangan. Sementara itu, KUHP memberikan payung hukum tegas bagi pelaku yang melakukan kekerasan terhadap aparat saat bertugas.
Namun pertanyaan kuncinya: apakah perlindungan ini sudah berjalan efektif? Di berbagai peristiwa, masih ditemukan anggota Polri yang menjadi korban serangan massa tanpa penanganan hukum yang signifikan. Sementara di sisi lain, aparat juga kerap mendapat sorotan tajam atas dugaan pelanggaran HAM. Situasi ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam mewujudkan keseimbangan antara perlindungan aparat dan penghormatan terhadap hak demonstran.
Negara tidak boleh abai. Perlindungan hukum bagi anggota Polri bukan hanya soal keselamatan aparat, tetapi juga menyangkut stabilitas dan keadilan dalam proses demokrasi. Aparat yang terlindungi akan bekerja lebih profesional; masyarakat pun lebih mudah percaya bahwa keamanan ditegakkan tanpa bias.
Di tengah meningkatnya dinamika politik dan sosial, dialog antara pemerintah, aparat, dan masyarakat menjadi kunci. Sinergi ini dapat menciptakan ruang demonstrasi yang lebih damai, tertib, dan menghargai hak setiap pihak. Pada akhirnya, perlindungan hukum bagi anggota Polri bukan sekadar kebutuhan institusi, tetapi fondasi penting bagi demokrasi yang matang.




































