JAKARTA – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).
Persidangan yang menghadirkan tim kuasa hukum terdakwa Ira Puspadewi, Direktur Utama PT ASDP periode 2017–2024, ini menyoroti aspek kompetensi lembaga penilai aset yang dijadikan dasar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menghitung potensi kerugian negara.
Dalam keterangannya, kuasa hukum Ira Puspadewi, Dr. Soesilo Aribowo, SH, MH, terdakwa menyampaikan bahwa lembaga penilai yang digunakan oleh KPK tidak memiliki kewenangan maupun keahlian yang sah untuk menilai aset hasil akuisisi antara PT ASDP dan PT Jembatan Nusantara.
Dengan demikian, menurut mereka, hasil penilaian tersebut tidak dapat dijadikan pijakan yang valid bagi ahli penghitungan kerugian negara dari KPK.
“Itu penegasan dari Pak Gunadi, bahwa pihak tersebut tidak punya kompetensi untuk menilai. Jadi hasilnya tidak dijadikan dasar oleh ahli KPK,” ujar kuasa hukum usai persidangan.
Ia kemudian memberikan analogi sederhana untuk menggambarkan persoalan tersebut.
“Kalau mau beli mobil, tentu tanya ke orang yang tahu mobil. Bukan kepada pihak yang tidak punya keahlian di bidang itu,” tegasnya.
Kuasa hukum juga menilai bahwa kelemahan dalam dasar penghitungan kerugian negara itu memperkuat posisi para terdakwa di hadapan majelis hakim.
Menurutnya, penggunaan hasil penilaian yang tidak kompeten berpotensi menimbulkan kesimpulan hukum yang tidak akurat, dan pada akhirnya merugikan para pihak yang sedang menjalani proses peradilan.
Lebih lanjut, tim pembela menyinggung hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disebut telah meninjau proses akuisisi PT Jembatan Nusantara dan menyatakan seluruh tahapan akuisisi dilakukan sesuai dengan prosedur dan regulasi yang berlaku.
“BPK sudah melakukan pemeriksaan dan menyatakan semuanya clear, tidak ada pelanggaran terhadap aturan,” ujarnya menegaskan.
Majelis hakim kemudian menetapkan bahwa sidang akan dilanjutkan pada Selasa pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi dari BPK.
Diharapkan keterangan lembaga audit negara itu dapat memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai ada atau tidaknya potensi kerugian negara dalam transaksi akuisisi yang kini tengah menjadi sorotan publik.
Kasus ini berawal dari proses akuisisi kapal-kapal milik PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry pada tahun 2014. Saat itu, sebagian jajaran direksi ASDP menolak rencana tersebut karena menilai kapal-kapal milik PT JN sudah uzur dan tidak layak operasional.
Namun, pada 2020 hingga 2021, setelah Ira Puspadewi menjabat sebagai Direktur Utama ASDP, kerja sama dengan PT Jembatan Nusantara kembali dilanjutkan dan direalisasikan.
KPK menduga proses akuisisi tersebut disamarkan dengan merekayasa dokumen penilaian kapal oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) MBPRU agar sesuai dengan nilai yang telah ditentukan oleh pemilik PT Jembatan Nusantara, Adjie. Nilai tersebut kemudian diketahui dan disetujui oleh jajaran Direksi PT ASDP.
Akibatnya, PT ASDP Indonesia Ferry diduga mengalami kerugian hampir mencapai Rp900 miliar, berdasarkan hasil perhitungan sementara penyidik KPK.
Sementara dalam surat dakwaan, jaksa menyebutkan potensi kerugian negara bahkan mencapai Rp1,25 triliun, yang terdiri atas:
• Pembayaran akuisisi saham PT JN sebesar Rp892 miliar,
• Pembelian 11 kapal afiliasi PT JN senilai Rp380 miliar, dan
• Pembayaran bersih kepada pemilik serta afiliasi PT JN yang mencapai Rp1,27 triliun.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu:
• Ira Puspadewi – Direktur Utama PT ASDP periode 2017–2024,
• Harry Muhammad Adhi Caksono – Direktur Perencanaan dan Pengembangan periode 2020-2024,
• Muhammad Yusuf Hadi – Direktur Komersial dan Pelayanan periode 2019-2024, dan
• Adjie – Pemilik PT Jembatan Nusantara.
Tiga nama pertama kini berstatus terdakwa dan sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sementara Adjie belum ditahan karena alasan kesehatan.
Jaksa mendakwa para terdakwa telah melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang perbuatan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.
Kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara ini menjadi perhatian publik karena melibatkan BUMN strategis di sektor transportasi penyeberangan nasional.
Publik menyoroti aspek transparansi, akuntabilitas, serta tata kelola aset negara dalam transaksi akuisisi bernilai triliunan rupiah tersebut.
Pihak terdakwa melalui kuasa hukumnya berharap agar proses hukum berjalan objektif, transparan, dan bebas dari tekanan politik atau opini publik. Mereka juga meminta agar semua pihak menunggu hasil persidangan dan pemeriksaan lembaga resmi seperti BPK sebelum menarik kesimpulan adanya kerugian negara.
Sidang akan kembali digelar pekan depan dengan menghadirkan saksi dari BPK, yang diharapkan dapat menjadi kunci untuk mengungkap sejauh mana keabsahan perhitungan kerugian negara dalam kasus yang menyangkut korporasi pelat merah tersebut.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin