JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Jumat (24/10/2025).
Sidang kali ini menghadirkan tiga terdakwa, yakni Direktur Utama PT Petro Energy Newin Nugroho, Direktur Keuangan Susy Mira Dewi Sugiarta, serta Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy Jimmy Masrin.
Ketiganya didakwa terkait dugaan penyalahgunaan fasilitas pembiayaan ekspor yang menyebabkan potensi kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah. Jaksa menilai, para terdakwa telah bekerja sama dalam pengajuan pembiayaan ekspor melalui skema yang tidak sesuai ketentuan, dengan memanfaatkan hubungan bisnis antarsesama perusahaan afiliasi.
Usai sidang, kuasa hukum Jimmy Masrin, Waldus Situmorang, S.H., M.H., menyampaikan kepada awak media bahwa kliennya tidak memiliki kewenangan operasional dalam pengambilan keputusan pembiayaan yang menjadi objek perkara ini.
“Posisi Pak Jimmy adalah Dewan Komisaris, bukan pihak yang menjalankan operasional. Ia hanya menjalankan fungsi pengawasan sesuai ketentuan,” jelas Waldus.
Ia menambahkan bahwa permasalahan antara LPEI dan kliennya lebih bersifat keperdataan karena berawal dari kesepakatan bisnis dalam penyelesaian utang-piutang melalui mekanisme jual beli piutang dan pengakuan utang, bukan tindak pidana.
“Ini murni kesepakatan bisnis antara para pihak. Kalau bicara kesepakatan perdata, sepanjang tidak melanggar hukum, itu sah menurut undang-undang. Jadi bukan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Waldus mengkritisi penerapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara oleh jaksa penuntut umum.
Menurutnya, pasal 2 huruf g dalam undang-undang tersebut secara jelas membatasi definisi keuangan negara hanya untuk perusahaan milik negara atau daerah, bukan perusahaan swasta yang memiliki hubungan bisnis dengan lembaga pemerintah.
“Pasal itu hanya berlaku bagi BUMN dan BUMD yang menggunakan dana APBN atau APBD. Dalam kasus ini, hubungan antara LPEI dan perusahaan klien kami adalah hubungan perdata, bukan pengelolaan keuangan negara,” tegasnya.
Ia menilai, kriminalisasi terhadap hubungan bisnis semacam ini dapat memberikan preseden buruk bagi dunia usaha dan investasi di Indonesia.
“Pengusaha itu kan tetap beritikad baik, mereka masih berusaha membayar kewajiban. Jadi jangan semuanya langsung dianggap korupsi,” tambah Waldus.
Dalam kesempatan yang sama, Waldus mengungkapkan bahwa pada sidang berikutnya, Senin (27/10/2025), pihaknya akan menghadirkan dua saksi ahli, yakni ahli keuangan negara dan ahli hukum keuangan publik dari Universitas Indonesia (UI).
“Kami akan menghadirkan ahli keuangan negara yang juga doktor dari UI. Beliau akan menjelaskan batasan keuangan negara dan menguraikan bahwa dalam kasus ini tidak ada dana publik yang dirugikan,” ujar Waldus.
Kasus ini berawal dari pemberian fasilitas pembiayaan ekspor oleh LPEI kepada PT Petro Energy dan afiliasinya sejak 2015.
Namun, sejak 2019 perusahaan tersebut dinyatakan dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) karena mengalami kesulitan keuangan.
Setelah melewati proses panjang, kesepakatan restrukturisasi baru tercapai pada 2021 melalui mekanisme jual beli piutang dan pengakuan utang.
Namun, di tengah proses pemulihan tersebut, muncul laporan dugaan penyimpangan yang kemudian berujung pada penetapan tiga petinggi perusahaan sebagai tersangka pada Februari 2025.
Menurut Waldus, proses bisnis yang dijalankan kliennya tidak menyalahi prinsip kehati-hatian. Ia juga menegaskan bahwa Jimmy Masrin tetap beritikad baik dalam menyelesaikan kewajiban perusahaannya kepada kreditur.
“Pak Jimmy tidak pernah menghindar dari tanggung jawab. Dia justru menjadi pihak yang mendorong penyelesaian utang agar perusahaan tetap beroperasi dan pekerja tidak kehilangan mata pencaharian,” pungkas Waldus.
Sidang perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor LPEI ini masih akan berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak terdakwa.
Publik menantikan bagaimana majelis hakim menilai batas antara hubungan keperdataan dan dugaan pidana korupsi dalam kasus ini, yang berpotensi menjadi preseden penting bagi penegakan hukum dan kepastian berusaha di Indonesia.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor; Fahmy Nurdin




































