Tangerang Selatan — Krisis sampah di Kota Tangerang Selatan tak lagi sekadar persoalan teknis pengangkutan. Di penghujung 2025, gunungan sampah yang meluber ke ruang publik membuka pertanyaan lebih besar: ke mana arah kebijakan, anggaran, dan keseriusan Pemerintah Kota Tangsel dalam mengelola masalah lingkungan yang bersifat darurat?
TPA Cipeucang, yang selama bertahun-tahun menjadi tulang punggung pengelolaan sampah kota, kini berada di titik kritis. Overkapasitas, pencemaran lingkungan, serta keluhan warga yang terus berulang menandai kegagalan sistemik yang tak pernah benar-benar diselesaikan.
Warga di sekitar TPA menyebut bau menyengat dan kualitas air tanah yang memburuk sebagai dampak langsung. Sebagian bahkan memilih menggunakan air galon untuk kebutuhan mandi dan rumah tangga, sebuah indikasi kuat adanya krisis lingkungan yang berpotensi mengancam kesehatan publik.
Ironisnya, persoalan ini terjadi di tengah besarnya APBD Tangerang Selatan. Namun, alih-alih solusi konkret, yang terlihat justru pola penanganan reaktif: angkut, pindahkan, lalu biarkan menumpuk di lokasi lain. Sampah di bawah flyover Ciputat memang mulai dibersihkan, tetapi warga menyebut tumpukan itu hanya dialihkan ke lahan kosong aset Pemkot di kawasan Roxy Ciputat.
Aktivis lingkungan Tangsel, Helmi, menilai praktik tersebut sebagai pemindahan masalah, bukan penyelesaian. Ia menyebut krisis sampah sebagai rapor merah kinerja Wali Kota Benyamin Davnie dan Wakil Wali Kota Pilar Saga Ichsan di akhir masa kepemimpinan mereka.
“Program bank sampah, teknologi pengolahan modern, sampai rencana jangka panjang, semuanya kerap disampaikan, tapi tidak pernah terasa dampaknya. Ini menunjukkan kegagalan kebijakan, bukan sekadar kekurangan armada,” ujar Helmi, Rabu (17/12).
Menurut Helmi, lambannya realisasi fasilitas pengolahan sampah alternatif dan kerja sama antar daerah memperlihatkan absennya keberanian politik dalam mengambil keputusan strategis. Ia memperingatkan, tanpa kebijakan progresif dan berkelanjutan, Tangsel sedang menyiapkan bom waktu ekologis.
Sorotan juga datang dari DPRD. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Tangsel, Paramitha, mendesak kepala daerah menetapkan status darurat sampah. Ia menilai kondisi saat ini tak lagi bisa ditangani dengan pendekatan normal birokrasi.
“Perlu Peraturan Wali Kota darurat sampah agar ada dasar hukum untuk langkah-langkah luar biasa. Tanpa itu, penanganan akan terus tambal sulam,” kata Paramitha.
Hingga kini, belum ada kejelasan peta jalan penanganan sampah jangka panjang yang benar-benar dijalankan. Transparansi penggunaan anggaran, efektivitas program, hingga dampak lingkungan belum pernah dibuka secara menyeluruh ke publik.
Di akhir 2025, krisis sampah Tangerang Selatan bukan hanya mencerminkan persoalan lingkungan, tetapi juga memperlihatkan jurang antara janji politik dan realitas kebijakan. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah pemerintah daerah menyadari masalah ini, melainkan sejauh mana mereka bersedia bertanggung jawab sebelum dampaknya kian meluas dan tak terkendali.
Penulis: Matyadi/Team




































