JAkARTA — Tiang-tiang beton yang menjulang di sejumlah ruas jalan Ibu Kota kembali menjadi sorotan publik. Lebih dari dua dekade sejak peletakan batu pertama proyek monorel, pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali dihadapkan pada pilihan: melanjutkan atau membongkar warisan infrastruktur mangkrak tersebut.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo, dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (10/6/2025), menyatakan bahwa Pemprov tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kelanjutan proyek monorel yang sempat digagas pada era Gubernur Sutiyoso.
“Kami tidak ingin estetika kota terganggu lebih lama. Jika memang tidak ada kejelasan, tiang-tiang itu akan kami bongkar. Ini soal tanggung jawab kepada warga,” ujar Pramono saat meninjau lokasi tiang di kawasan Jakarta Selatan.
Menurut Pramono, dasar hukum untuk pembongkaran telah diperoleh melalui putusan pengadilan serta dukungan dari Kejaksaan Agung. Pemprov juga telah memberi tenggat waktu kepada PT Adhi Karya sebagai kontraktor pembangunan untuk menindaklanjuti keputusan tersebut.
Namun, di sisi lain, PT Jakarta Monorail sebagai pemegang kontrak kerja sama menyatakan proyek belum sepenuhnya ditinggalkan. Direktur Utama PT Jakarta Monorail, Sukmawati Syukur, mengungkapkan bahwa feasibility study telah diserahkan sejak lama dan sejumlah usulan penyesuaian rute serta teknologi juga telah diajukan.
“Kontrak kami dengan Pemprov DKI masih berlaku. Kami siap berkolaborasi jika ada keinginan untuk menghidupkan kembali proyek ini,” ujar Sukmawati saat ditemui di kantor perusahaan di kawasan Sudirman.
Proyek monorel pertama kali diluncurkan pada 6 Juni 2004 dan kembali dihidupkan pada 2013 melalui kerja sama dengan perusahaan asal Tiongkok, CCCC. Namun, kendala utama yang belum terselesaikan hingga kini adalah penyediaan lahan depo dan stasiun, yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Kini, menjelang peringatan 500 tahun Kota Jakarta pada 2027, proyek monorel kembali dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari upaya modernisasi transportasi Ibu Kota. Pemerintah menilai, kehadiran moda transportasi tambahan dapat menjadi pelengkap dari sistem yang telah ada, seperti KRL, MRT, dan LRT.
“Monorel bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurai kemacetan, jika dikaji secara matang dan realistis,” kata Pramono.
Namun, langkah lanjutan masih harus menunggu kejelasan hukum dan teknis. Sejumlah pakar tata kota juga menilai, jika monorel hendak diteruskan, perencanaan ulang yang komprehensif sangat diperlukan agar proyek tidak kembali menemui jalan buntu.
Untuk saat ini, masyarakat Jakarta hanya bisa menunggu: apakah tiang-tiang beton itu akan berubah menjadi bagian dari sistem transportasi masa depan, atau sekadar menjadi penanda atas ambisi yang tak pernah benar-benar berjalan.
Editor : Helmi AR