KUNINGAN – Polemik kepemilikan tanah eks Pendopo Bupati Kuningan kembali mengemuka setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan secara resmi mengungkap status hukum aset tersebut. Melalui akun resmi BPKAD, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kuningan, Deden Kurniawan SE., M.Si., menyatakan bahwa tanah di Jalan Siliwangi No. 88 Kuningan tersebut berstatus Hak Pakai dan tercatat dalam neraca aset daerah.
Tanah itu mencakup tiga bidang:
• Kantor Sekretariat Daerah seluas 15.823 m² (Sertifikat No. 20, tertanggal 20 September 1990, ID Barang: 47817).
• Lapangan parkir seluas 2.430 m² (Sertifikat No. 33, tertanggal 24 September 2009, ID Barang: 47818).
• Taman seluas 477 m² (Sertifikat No. 57, tertanggal 6 Januari 2022, ID Barang: 68616).
Namun pernyataan resmi Pemda ini langsung ditanggapi tegas oleh Kanjeng Gusti Sultan Sepuh Pangeran Kuda Putih Syarif Maulana Pangeran Heru Rusyamsi Arianatareja, yang selama ini menyuarakan klaim bahwa tanah tersebut merupakan bagian dari wilayah adat Kesultanan Cirebon.
“Statusnya cuma hak pakai kan? Lalu siapa pemiliknya?” kata Sultan Sepuh saat dikonfirmasi media dari Jakarta, Rabu (2/7/2025).
“Kalau memang tanah negara, kenapa statusnya tidak hak milik negara? Kan dalam konstitusi sudah jelas, negara tidak memiliki tanah, hanya menguasai dan mengelola,” sambungnya.
Ia mempertanyakan keberadaan historis negara dibanding Kesultanan Cirebon, serta menyoroti tidak adanya izin atau royalti atas penggunaan nama leluhur Kesultanan, Pangeran Purbawisesa Langlangbuana, yang kini menjadi nama resmi Gedung Pendopo Kuningan.
“Itu simbolik lho, nama leluhur kami dipakai. Tapi apakah pernah ada kompensasi kepada ahli waris? Jangan sampai gedung itu disewakan ke pihak ketiga hanya untuk kepentingan bisnis,” tegas Sultan Heru.
Sultan Sepuh juga menekankan pentingnya sinergi antara Pemda dan Keraton dalam pelestarian budaya dan warisan leluhur, termasuk wacana besar menghidupkan kembali Seren Taun Keraton di Kabupaten Kuningan, yang menurutnya dulu menjadi bagian dari budaya daerah semasa kepemimpinan Pangeran Arya Kemuning.
Dari sisi hukum, Sultan Heru mengacu pada berbagai regulasi yang menurutnya mendukung eksistensi tanah adat dan ulayat, antara lain:
• Pasal 18B ayat 2 UUD 1945
• Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960
• PP No. 224 Tahun 1961
• PP No. 18 Tahun 2021
• Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2024
• PP No. 24 Tahun 1997
• Sertifikat Hak Milik Adat (SHMA)
“Negara mengakui hukum adat. Jadi jangan debatkan legalitas tanah ulayat,” ujar Sultan, yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Negara Perintis Kemerdekaan RI (LNPKRI/DAN RI) — lembaga resmi yang menaungi para Raja dan Sultan se-Nusantara sejak 1964.
Dikenal sebagai figur yang low-profile namun aktif, Sultan Heru juga dikenal luas sebagai pendukung Presiden RI Prabowo Subianto dan salah satu duta pemberantasan korupsi di lingkungan keraton.
Kini masyarakat menanti, apakah Pemerintah Daerah Kuningan akan membuka pintu harmonisasi dengan pihak Kesultanan Cirebon atau terus mempertahankan klaim sepihak atas aset bersejarah ini. Polemik ini membuka diskusi lebih luas tentang hubungan negara dan warisan kerajaan Nusantara dalam tata kelola aset daerah.
“Sudahlah, tinggal disinergikan dan diharmonisasikan saja. Mau sampai kapan gontok-gontokan?” pungkas Sultan Heru.
Penulis : Fahmy Nurdin
Editor : Fahmy Nurdin