JAKARTA – Upaya hukum luar biasa kembali ditempuh oleh terpidana kasus korupsi pengelolaan dana investasi PT Asabri (Persero), Mayjen TNI (Purn) Adam Rachmat Damiri. Melalui kuasa hukumnya, Deolipa Yumara, Adam resmi mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2025).
Langkah ini, menurut Deolipa, didasari adanya kekeliruan majelis hakim dalam memutus perkara yang menjerat kliennya, serta ditemukannya bukti baru (novum) yang diyakini dapat membuktikan bahwa Adam Damiri tidak bersalah dalam perkara yang merugikan negara hingga triliunan rupiah tersebut.
“Kami datang ke PN Jakarta Pusat, tepatnya ke PN Tipikor, untuk mengajukan permohonan PK demi kepentingan hukum Pak Adam Damiri. Kami meyakini ada kekhilafan dan kekeliruan dalam putusan sebelumnya,” ujar Deolipa kepada wartawan, Kamis siang.
Dalam berkas PK yang diajukan, tim kuasa hukum Adam Damiri melampirkan sejumlah dokumen baru, antara lain analisis kekhilafan majelis hakim, laporan keuangan, neraca perusahaan, mutasi keuangan, hasil RUPS, serta audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut Deolipa, bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa kliennya tidak terlibat secara langsung dalam kerugian negara yang terjadi pada periode 2016–2020, karena masa jabatannya di PT Asabri telah berakhir pada 2015.
“Beliau menjabat sebagai Direktur Utama Asabri dari tahun 2011 sampai 2015. Sementara perkara yang dihitung sebagai kerugian negara dimulai sejak 2016 sampai 2020, saat beliau sudah tidak menjabat. Ini jelas ada kekeliruan dalam pertimbangan hukum majelis hakim,” tegasnya.
Selain masa jabatan, tim hukum juga menyoroti putusan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp17,972 miliar, yang dinilai tidak relevan dengan perkara yang disangkakan.
Deolipa menyebut hakim “asal memutus” dengan mengaitkan uang hasil usaha pribadi Adam Damiri ke dalam perkara korupsi Asabri.
“Uang pengganti itu bukan berasal dari dana Asabri. Itu uang hasil usaha lain yang sah secara hukum. Hakim khilaf dan keliru menilai fakta,” kata Deolipa.
Kesalahan ini, lanjutnya, menjadi salah satu dasar utama dalam pengajuan PK karena dianggap melanggar asas keadilan dan proporsionalitas hukum.
Deolipa juga menyoroti cara hakim menggabungkan kerugian negara dari dua periode kepemimpinan berbeda di Asabri, yakni periode Adam Rachmat Damiri (2012–2016) dan Sonny Widjaja (2016–2020), sehingga total kerugian yang mencapai Rp22,78 triliun seolah-olah seluruhnya dibebankan kepada Adam.
“Dalam masa kepemimpinan Pak Adam, kerugian yang dihitung hanya sekitar Rp2,6 triliun, itu pun masih berupa saham yang bernilai. Tapi hakim justru menjumlahkan semua kerugian hingga Rp22 triliun dan membebankan sepenuhnya ke beliau. Ini dzalim, apalagi beliau sudah berusia 76 tahun,” ucapnya.
Kasus korupsi pengelolaan dana investasi di PT Asabri menjadi salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia.
Pada 4 Januari 2022, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 20 tahun penjara dan denda Rp800 juta kepada Adam Rachmat Damiri, serta mewajibkannya membayar uang pengganti Rp17,972 miliar.
Namun, dalam putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 19 Mei 2022, hukuman Adam diperberat menjadi 15 tahun penjara, dengan denda dikurangi menjadi Rp750 juta.
Kemudian, pada tahap kasasi di Mahkamah Agung tahun 2022, hukuman tersebut kembali berubah menjadi 16 tahun penjara.
Melalui pengajuan PK ini, tim kuasa hukum berharap Mahkamah Agung dapat meninjau ulang fakta hukum dan bukti-bukti baru yang diajukan, serta memberikan putusan yang berkeadilan dan proporsional.
“Upaya ini bukan sekadar membela Pak Adam Damiri, tapi juga memperbaiki kekeliruan hukum yang berpotensi menjadi preseden buruk bagi dunia peradilan,” tegas Deolipa.
“Kita sepakat, korupsi harus diberantas. Tapi hukum harus adil, jangan sampai orang yang tidak korup malah dijadikan korban sistem,” pungkasnya.
Kasus Asabri sendiri menimbulkan kerugian negara hingga Rp22,78 triliun, melibatkan sejumlah pejabat dan pihak swasta.
Namun, dinamika hukum terus berkembang, terutama dengan munculnya permohonan PK dari beberapa terpidana, termasuk Adam Rachmat Damiri, yang menilai putusan sebelumnya sarat kekhilafan dan tidak proporsional.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































