Depok – Pembatalan Misa Natal 2025 di Wisma Sahabat Yesus (WSY), Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, menuai perhatian publik. Keputusan tersebut diambil setelah musyawarah antara pihak kelurahan, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat keamanan, serta pengelola WSY, Selasa (23/12/2025).
Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa kegiatan Misa Natal pada 24-25 Desember 2025 tidak dilaksanakan di WSY, dengan alasan menjaga kondusivitas lingkungan dan menunggu proses perizinan kegiatan ibadah.
Menanggapi hal itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Kristiani Indonesia Raya (GEKIRA) menilai pembatalan ibadah umat Kristiani tersebut patut menjadi perhatian serius negara, khususnya terkait jaminan kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Ketua LBH GEKIRA, Santrawan Paparang, menegaskan, kebebasan beribadah merupakan hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikalahkan oleh tekanan sosial atau kekhawatiran mayoritas.
“Negara wajib hadir menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Ketika ibadah dihentikan bukan karena pelanggaran hukum, melainkan karena tekanan sosial atau kekhawatiran semata, maka ini menjadi preseden yang tidak sehat bagi kehidupan berbangsa,” ujar Santrawan, Rabu (24/12/2025).
Menurut LBH GEKIRA, dialog dan musyawarah antarumat beragama merupakan langkah positif. Namun, hasil dialog tidak boleh berujung pada pengorbanan hak konstitusional kelompok minoritas.
“Musyawarah seharusnya memperkuat perlindungan hak, bukan justru membatasi pelaksanaannya. Kebebasan beribadah dijamin Pasal 29 UUD 1945 dan tidak bersyarat pada persetujuan mayoritas,” tegasnya.
LBH GEKIRA juga menyoroti fakta bahwa WSY selama ini menjalankan fungsi pendampingan pastoral mahasiswa Katolik, pendidikan agama, serta kegiatan sosial lintas iman, yang bahkan mendapat dukungan dari masyarakat sekitar.
“Jika kegiatan sosial dan pendidikan diterima, tetapi ibadahnya dihentikan, ini menunjukkan masih adanya kesalahpahaman serius tentang makna kebebasan beragama,” kata Santrawan.
LBH GEKIRA meminta pemerintah daerah, aparat keamanan, serta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk tidak hanya berperan sebagai mediator konflik, tetapi juga sebagai penjaga konstitusi.
“Kerukunan sejati bukan berarti menghentikan ibadah demi ketenangan sementara, melainkan memastikan semua warga bisa menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut,” tambahnya.
Sementara itu, pihak WSY melalui Romo Robertus Bambang Rudianto SJ menegaskan, WSY bukanlah gereja, melainkan pusat pendampingan pastoral mahasiswa Katolik dari berbagai kampus di wilayah Jakarta Selatan dan Depok. Ia menyatakan pembatalan Misa Natal dilakukan demi menghormati proses dialog dengan warga dan menjaga ketenangan lingkungan.
LBH GEKIRA mendorong agar ke depan proses perizinan kegiatan ibadah dilakukan secara transparan, adil, dan tidak diskriminatif, serta meminta negara memastikan peristiwa serupa tidak terus berulang.
“Jika setiap potensi keberatan warga berujung pada pembatalan ibadah, maka yang terancam bukan hanya umat tertentu, tetapi prinsip kebebasan beragama itu sendiri,” pungkas Santrawan.
Penulis: Matyadi




































