JAKARTA – Sajian makanan khas Lebaran berpotensi berkurang pada Idul Fitri 2026 seiring lonjakan harga kelapa dan produk turunannya yang kian mengkhawatirkan. Hasil survei Lembaga Survei KedaiKOPI menunjukkan mayoritas masyarakat telah merasakan kenaikan harga kelapa dalam enam bulan terakhir dan menilai kondisi tersebut dapat memburuk pada awal 2026.
Survei KedaiKOPI dilakukan secara tatap muka pada 24 November hingga 1 Desember 2025 terhadap 400 responden di enam kota besar di Indonesia. Responden terdiri atas 200 ibu rumah tangga, 160 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta 40 pedagang kelapa utuh.
Peneliti KedaiKOPI, Ashma Nur Afifah, mengatakan sebanyak 83 persen responden menyatakan harga kelapa dan produk olahannya mengalami kenaikan. Bahkan, dari kelompok tersebut, 45,2 persen menilai kenaikan harga terjadi secara signifikan.
“Kenaikan harga kelapa ini sudah sangat dirasakan masyarakat. Dampaknya bukan hanya pada rumah tangga, tetapi juga pada pelaku UMKM dan pedagang,” ujar Ashma dalam konferensi pers di kantor KedaiKOPI, Tebet Timur, Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2025).
Ashma menjelaskan lonjakan harga dipicu meningkatnya permintaan ekspor kelapa utuh dalam jumlah besar. Kondisi ini menyebabkan pasokan di dalam negeri berkurang dan harga melonjak.
“Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa terbesar dunia dengan produksi sekitar 2,8 juta ton per tahun. Namun, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara yang masih memperbolehkan ekspor kelapa bulat tanpa pembatasan ketat, sehingga pasokan domestik menjadi rentan,” katanya.
Survei juga mencatat dampak langsung terhadap kehidupan sehari-hari. Sejumlah ibu rumah tangga mengaku mengurangi penggunaan santan dan frekuensi memasak masakan bersantan. Di sisi lain, pelaku UMKM melaporkan kenaikan biaya modal dan operasional secara signifikan, bahkan sebagian terpaksa menaikkan harga jual menu hingga 50 persen, khususnya pada usaha katering.
Sementara itu, pedagang kelapa utuh juga mengalami penurunan laba meski telah menaikkan harga jual.
“Jika kondisi ini dibiarkan, kelestarian makanan tradisional Indonesia yang berbahan dasar kelapa dan santan terancam karena semakin tidak terjangkau oleh masyarakat,” tambah Ashma.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, menilai pemerintah perlu segera mengambil kebijakan komprehensif. Menurutnya, selain pungutan ekspor, pemerintah harus memastikan kebutuhan dalam negeri terpenuhi melalui skema Domestic Market Obligation (DMO).
“Kelapa adalah komoditas penting bagi konsumen. Pemerintah perlu menentukan kebutuhan domestik dan menstabilkan harga. Jika tidak segera ditangani, kenaikan harga kelapa berpotensi memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat,” kata Tulus.
Peneliti Core Indonesia, Eliza Mardian, turut menyoroti ketidaksinkronan data ekspor kelapa. Ia juga menyarankan penetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk melindungi konsumen.
“Produksi kelapa sekitar 2,8 juta ton, sementara data ekspor berbeda antara lembaga. Ini perlu ditelusuri. Selain DMO atau pungutan ekspor, HET penting untuk menjaga harga di tingkat konsumen,” ujarnya.
Ekonom Gede Sandra menambahkan perlunya strategi hilirisasi industri kelapa. Menurutnya, ekspor kelapa dalam bentuk bahan mentah tidak memberikan nilai tambah optimal bagi perekonomian nasional.
“Nilai ekspor kelapa saat ini sekitar 1,6 miliar dolar AS. Dengan hilirisasi, nilainya bisa meningkat hingga 6,5 miliar dolar AS. Karena itu, Indonesia perlu membangun industri pengolahan kelapa, bukan sekadar mengekspor gelondongan,” katanya.
Lonjakan harga kelapa juga mendapat perhatian dari aktris sekaligus advokat perlindungan perempuan dan anak, Cornelia Agatha. Ia menilai kenaikan harga dan ancaman kelangkaan kelapa berdampak besar terhadap UMKM yang mayoritas digerakkan perempuan.
Masalah kelapa ini sangat berdampak pada ibu-ibu dan UMKM. Karena itu, kebijakan pemerintah harus benar-benar berpihak kepada rakyat, terutama perempuan dan anak,” ujarnya.




































