SURABAYA — Malam 7 Muharram 1447 Hijriyah atau bertepatan dengan Kamis, 3 Juli 2025, menjadi momen penuh makna dalam kegiatan wisata religi yang digelar di Surabaya, tepatnya di Jl. Lidah Wetan Tengah No.27, Lidah Wetan, Kec. Lakarsantri, Surabaya, Jawa Timur. Acara ini dipimpin langsung oleh Didi Djatmiko, Ketua Napak Tilas Sirnah Gali bersama keluarga besar almarhum Bapak Marjuni.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi sarana spiritual, namun juga ruang pelurusan sejarah dan penguatan identitas budaya. Fokus utama adalah sosok Raden Sawunggaling, tokoh besar yang merepresentasikan semangat perlawanan terhadap penjajahan VOC sekaligus simbol keteguhan moral masyarakat Surabaya tempo dulu.
Jejak Darah Bangsawan: Anak dari Cinta Sejarah
Raden Sawunggaling, juga dikenal sebagai Mbah Joko Berek, merupakan keturunan langsung dari Joko Tangkeban atau Jangrono III, Adipati Surabaya, yang menikahi Raden Ayu Dewi Sakra, putri dari Kerajaan Blambangan. Pernikahan ini adalah pernikahan ketiga sang Adipati dan dari sinilah lahir Mbah Joko Berek.
Sejak kecil, Mbah Joko Berek dikenal sebagai anak yang penyayang dan mencintai alam. Sejak usia delapan tahun, ia memiliki seekor ayam jago bernama Bagong, bukan sebagai alat sabung ayam, melainkan sahabat sejati. Narasi yang menyebutkan bahwa Sawunggaling adalah penyabung ayam adalah keliru. Justru yang gemar menyabung ayam adalah saudara tirinya, anak dari pernikahan Jangrono dengan wanita dari Kartosuro.
Darah dan Identitas yang Diperjuangkan
Ketika dewasa, Mbah Joko Berek memulai perjalanan ke Kadipaten Surabaya untuk mencari ayahnya. Dalam perjalanannya, ia dihadang oleh Mbah Sawung Rono dan Mbah Sawung Sari. Ia diizinkan masuk jika ayam jagonya, Bagong, mampu mengalahkan ayam mereka. Jika kalah, Mbah Joko Berek akan dipenggal sebagai tumbal alun-alun Kadipaten Surabaya.
Bagong menang, namun karena kekalahan tak diterima, ayam tersebut dibawa kabur ke dalam kadipaten. Tanpa sengaja, Mbah Joko Berek justru bertemu dengan ayah kandungnya, Jangrono III. Ia sempat dianggap mencuri dan hampir dihukum mati, tetapi setelah menunjukkan selendang tenun cinde pemberian ibunya, identitasnya diakui.
Sebagai syarat pengakuan sebagai anak sah, ia ditugaskan menggembala 144 ekor kuda. Tugas tersebut dijalankan dengan penuh kerendahan hati dan berhasil diselesaikan. Pengakuan sebagai keturunan Adipati pun akhirnya diberikan.
Namun, tekanan politik dari VOC dan Perjanjian Jepara yang menjerat Kerajaan Mataram menjadikan Surabaya sebagai wilayah wajib upeti. Jangrono III menolak tunduk. Untuk menjauhkan pewaris sah, VOC mengirim Mbah Joko Berek ke hutan angker “Alas Nambas Kelingan” — sebuah tugas berbahaya.
Dengan bantuan Raden Ayu Pandansari, ia berhasil menaklukkan hutan tersebut. Namun ayahnya, yang diracun oleh pihak sekutu VOC dari Kartosuro, meninggal dunia. Dalam keadaan sekarat, sang ayah menyematkan gelar Raden Sawunggaling sebagai simbol perjuangan dan pengakuan darah bangsawan.
Janji Darah dan Perlawanan Abadi
Setelah wafatnya sang ayah, Raden Sawunggaling bersumpah mengusir VOC dari tanah Jawa. Ia menghimpun kekuatan bersama para adipati lain yang juga menentang VOC. Perlawanan dipimpin dari Surabaya hingga Batavia dan berbagai wilayah Nusantara.
Prasasti perjuangannya masih ditemukan di berbagai tempat, dan nilai-nilai perlawanan itu terus hidup, termasuk di Ponorogo, di mana para pengikutnya masih menjaga ajaran dan semangat juangnya.
Salah satu kisah menarik terjadi saat sayembara memanah nasional di Kartosuro. Raden Sawunggaling, yang menyamar dengan nama keraton Raden Mas Banding Notopuro, mengalahkan seluruh peserta termasuk kalangan darah biru. Ia membuktikan bahwa rakyat biasa pun bisa memimpin jika memiliki tekad dan keberanian.
Simbol Persatuan dan Toleransi
Wisata religi ini bukan hanya napak tilas sejarah, namun juga simbol persatuan lintas agama dan budaya. Selama peringatan, diadakan doa bersama lintas iman. Umat Islam membaca Yasin dan istighotsah, sedangkan umat Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya memanjatkan doa sesuai kepercayaan masing-masing. Semua kemudian berkumpul dalam semangat tumpeng dan guyub rukun.
Kegiatan rutin juga digelar setiap Jumat Legi malam Sabtu Pahing, menandai kawasan ini sebagai ruang spiritual dan budaya bersama.
Juru Kunci generasi ke-18, Pak Setya Budi — yang menjabat sejak 2018 — menegaskan pentingnya merawat sejarah. “Jangan pernah lupakan leluhur. Kita bisa minum kopi hari ini karena darah dan perjuangan mereka. Termasuk para tokoh, ulama, dan pejuang dari berbagai agama dan suku yang memerdekakan kita,” ucapnya haru.
Penutup: Warisan untuk Generasi Mendatang
Ziarah dan napak tilas ini menjadi pengingat bahwa perjuangan bukan milik satu golongan, tetapi milik seluruh anak bangsa. Perjuangan Raden Sawunggaling bukan hanya tentang darah, tetapi tentang pengabdian, keberanian, dan kesetiaan terhadap negeri.
Dari Surabaya hingga ke ujung Nusantara, semangat perjuangan itu tetap hidup — mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah, tetapi warisan yang harus terus dijaga dan dihormati oleh generasi penerus bangsa.
Editor : Helmi AR