JAKARTA – Suasana Hall Dewan Pers, Jakarta, Sabtu (23/8) sore, terasa penuh simbolisme. Hendry Ch. Bangun (HCB), Ketua Umum PWI hasil Kongres 2023, melangkah mantap menyerahkan berkas pencalonan sebagai Ketua Umum PWI Pusat 2025–2030. Ia datang membawa 17 surat dukungan dari PWI provinsi. “Kami sengaja membawa 17 dukungan, sebagai simbol bulan kemerdekaan, 17 Agustus. Saya maju lagi karena ingin melanjutkan beberapa program, terutama Uji Kompetensi Wartawan (UKW) gratis di seluruh Indonesia,” kata HCB usai pendaftaran.
Langkah HCB menjadi penanda bahwa pertarungan kursi tertinggi organisasi wartawan tertua di Indonesia ini akan berlangsung ketat. Sehari sebelumnya, Jumat (22/8), Akhmad Munir—Direktur Utama LKBN Antara—sudah lebih dulu mendaftar, didampingi dua figur penting: Atal S. Depari (Ketua Umum PWI 2018–2023) yang disandingkan sebagai calon ketua dewan kehormatan, dan Zulmansyah Sekedang (Ketua Umum PWI versi KLB 2024). Dukungan yang menyatukan dua kubu yang sebelumnya berseberangan membuat Munir disebut sebagai simbol rekonsiliasi.
Verifikasi Dukungan: Antara Klaim dan Fakta
Meski kedua calon sama-sama membawa dukungan signifikan—HCB dengan 17 provinsi, Munir mengklaim minimal 20 provinsi—semuanya belum final. Ketua Steering Committee (SC) Kongres, Zulkifli Gani Ottoh (Zugito), menegaskan dokumen dukungan harus diverifikasi satu per satu oleh Tim Penjaringan. “Keputusan sah atau tidaknya baru ditetapkan setelah batas akhir pendaftaran, Senin, 25 Agustus 2025 pukul 23.59 WIB. Dukungan resmi hanya berlaku jika dokumen fisik bertanda tangan basah dan stempel asli. PDF tidak sah,” tegasnya.
Verifikasi dijadwalkan berlangsung Selasa (26/8), dilanjutkan pleno SC dan OC, sebelum hasil resmi diumumkan. Artinya, angka dukungan yang kini menjadi modal narasi kampanye keduanya masih bersifat klaim.
Bayang-Bayang Dualisme: Retorika Persatuan, Ujian Hukum
Dalam pendaftaran HCB, Farianda Putra Sinik (Ketua PWI Sumut) menegaskan Kongres 2025 harus menjadi momentum pemersatu. “Yang menang didukung, yang kalah dirangkul,” ujarnya.
Namun, kenyataan berbicara lain: masih ada gugatan perdata kepada Dewan Pers dan kubu PWI Zulmansyah di PN Jakarta Pusat, dan laporan polisi di Polres Jakarta Pusat yang diajukan kubu PWI hasil Kongres 2023 pimpinan HCB. Publik internal PWI pun bertanya-tanya: jika ini Kongres Persatuan, mengapa gugatan dan laporan itu belum dicabut?
Pertanyaan ini menjadi ujian pertama bagi kedua kandidat: apakah komitmen persatuan hanya retorika atau benar-benar diwujudkan?
Agenda Kongres: Pilih Pemimpin, Pulihkan Marwah
Kongres Persatuan PWI 2025 akan digelar 29–30 Agustus di BPPTIK Komdigi, Cikarang, Bekasi. Agendanya ditegaskan minimalis: hanya pemilihan Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat periode 2025–2030. Tidak ada pembahasan PD/PRT dan laporan pertanggungjawaban.
HCB mendaftar berpasangan dengan Sihono HT (Ketua Dewan Kehormatan PWI DIY) untuk posisi Ketua DK. Sementara Munir, dengan dukungan Atal–Zulmansyah, membawa misi “rekonsiliasi total” dan “modernisasi organisasi.”
Janji & Visi: Kontinuitas vs. Rekonsiliasi Digital
Hendry Ch. Bangun: Fokus pada kesinambungan program, terutama UKW gratis. Narasi “17 dukungan” dipakai sebagai simbol loyalitas dan kesinambungan.
Akhmad Munir: Mengusung rekonsiliasi lintas-kubu, penguatan daerah, profesionalisasi wartawan, hingga digitalisasi organisasi berbasis teknologi, termasuk literasi jurnalisme AI.
Bagi anggota, janji-janji ini akan diukur dari kecepatan realisasi pasca-kongres: apakah UKW gratis berjalan masif? Apakah konflik hukum diselesaikan? Apakah layanan untuk daerah diperkuat?
Titik Kritis Pasca-Kongres
1. Legitimasi formal hasil verifikasi dan pemilihan.
2. Legitimasi sosial: penerimaan luas dari semua pihak.
3. Penyelesaian hukum: nasib gugatan & laporan polisi.
4. Relevansi organisasi: kemampuan melayani anggota di era digital.
Kesimpulan: Kongres Penentu Arah PWI
Pendaftaran HCB dan Munir membuka dua jalur narasi: kontinuitas program versus rekonsiliasi lintas-kubu. Namun, Kongres Persatuan PWI 2025 bukan sekadar soal siapa yang menang. Yang dipertaruhkan adalah marwah PWI: apakah dualisme ditutup dengan mandat baru yang diakui semua pihak, atau perpecahan berlanjut dengan wajah baru?
“Kongres ini harus jadi titik balik. Kalau tidak, kita akan kehilangan lebih dari sekadar kursi ketua—kita bisa kehilangan kepercayaan anggota,” ujar seorang pengurus PWI daerah yang enggan disebutkan namanya.
Kini, semua mata tertuju ke Cikarang, tempat sejarah baru PWI akan ditulis—apakah dalam satu suara, atau tetap terbelah.