JAKARTA, okjakarta.com – Kunjungan pengusaha nasional James Riady ke Situs Megalitikum Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, belum lama ini menyedot perhatian publik. Bukan semata karena statusnya sebagai tokoh berpengaruh, melainkan karena cara dan konteks kehadirannya di salah satu situs purbakala paling diperdebatkan di Indonesia.
James Riady diketahui tiba di kawasan Gunung Padang menggunakan helikopter, lalu meninjau langsung area situs, termasuk lereng-lereng curam yang jarang dijangkau wisatawan. Ia tidak berhenti di teras utama, tetapi menyusuri kawasan yang masih tertutup vegetasi, serta meluangkan waktu berdiskusi dengan tim kajian yang selama ini terlibat dalam riset Gunung Padang.
Menurut peneliti Ali Akbar, yang membagikan pengalamannya melalui media sosial, James Riady menunjukkan ketertarikan mendalam. Ia mencermati puluhan dokumentasi riset, mengajukan pertanyaan kritis, dan berdialog dalam waktu cukup lama. Sikap itu dinilai berbeda dari kunjungan simbolik yang kerap dilakukan tokoh publik ke situs-situs bersejarah.
Gunung Padang sendiri selama bertahun-tahun berada di pusat perdebatan ilmiah. Sebagian peneliti meyakini situs ini menyimpan struktur berlapis yang jauh lebih tua dari peradaban yang selama ini dikenal, sementara kalangan arkeolog arus utama menekankan pentingnya kehati-hatian metodologis dan verifikasi data yang ketat.
Di tengah perdebatan tersebut, kehadiran figur seperti James Riady memunculkan harapan sekaligus kehati-hatian. Sebagai anggota Dewan Penyantun Museum dan Cagar Budaya yang diketuai Hashim Djojohadikusumo, James Riady memiliki pengaruh moral dan jejaring kebijakan, meski bukan pemegang otoritas teknis dalam riset arkeologi.
Pernyataannya yang disebut-sebut siap mendukung kajian lanjutan dan upaya pemugaran Gunung Padang dipandang sebagai peluang untuk mendorong riset multidisipliner yang lebih serius dan berkelanjutan. Namun, sejumlah kalangan mengingatkan bahwa dukungan tokoh berpengaruh harus tetap berada dalam koridor etika ilmiah, tanpa tekanan hasil atau narasi yang tergesa-gesa.
Gunung Padang kerap diposisikan dalam dua kutub ekstrem: antara klaim besar yang ingin segera mendapat pengakuan global dan sikap akademik yang cenderung konservatif. Di antara keduanya, isu etika pengelolaan warisan budaya kerap luput dari perhatian.
Praktisi budaya Dar Edi Yoga menyebut Gunung Padang bukan sekadar situs fisik, melainkan ruang peradaban yang menuntut sikap batin tertentu. Ia menyebut, tidak semua orang “dipanggil” ke Gunung Padang—sebuah metafora tentang kesiapan kesadaran dan tanggung jawab dalam menyikapi warisan masa lalu.
Pandangan itu menegaskan bahwa situs purbakala tidak bisa diperlakukan semata sebagai objek wisata, komoditas ekonomi, atau arena adu klaim intelektual. Ia adalah amanah sejarah yang menuntut kesabaran, kerendahan hati, serta dialog lintas disiplin—arkeologi, geologi, antropologi, hingga kearifan lokal.
Pada akhirnya, Gunung Padang menjadi cermin cara bangsa ini memperlakukan warisan peradabannya sendiri. Apakah masa lalu didekati dengan ambisi untuk menaklukkannya, atau dengan kesadaran bahwa pengetahuan manusia selalu memiliki batas.
Kunjungan James Riady, terlepas dari tafsir yang menyertainya, membuka kembali satu pertanyaan mendasar: sejauh mana Indonesia siap mengelola misteri sejarahnya dengan tanggung jawab, tanpa terjebak pada sensasi, tetapi juga tanpa menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan baru yang ditawarkan ilmu pengetahuan.
Penulis Matyadi




































