JAKARTA – Mantan presiden RI Joko Widodo tidak memiliki kewajiban hukum untuk menunjukan ijasah asli yang dimiliki kepada siapapun, karena ijasah SD, SMP, SMA dan S-1 yang dimiliki adalah merupakan katagori dokumen pribadi miliknya dan di lindungi Pasal 6 ayat (3) huru c UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Joko Widodo saat ini bersetatus perseorangan/pribadi dan bukan merupakan badan publik yang dapat dimintai dokumen-dokumen untuk kepentingan umum.
Hal itu disampaikan pakar hukum pidana dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H., M.H., C.LAd., CCM., CLC., C.MT ., saat di mintai pendapat oleh awak media diruang Kerjanya, di Jakarta, Rabu (7-5).
Menurut Edi Ribut Harwanto, Pasal 6 ayat (3) huru c UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, telah di jelaskan secara hukum, bahwa “informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh badan publik adalah, informasi yang berkaitan dengan hak hak pribadi” Badan publik dilarang membuka dokumen yang bersifat pribadi atau menyangkut hak hak pribadi.
Seperti sikap tegas Joko Widodo menolak untuk menunjukan atau membuka dokumen pribadi berupa ijasah kepada pihak ketiga yang mempersoalkan tentang keapsahan ijasahnya. Perlu dipahami, bahwa, didalam ketentuan hukum Pasal 1 angka ke-1 UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dijelaskan, dalam teks bahasa hukum informasi dimaknai secara yuridis adalah, “keterangan , peryataan, gagasan dan tanda tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan baik data, fakta maupun penjelasanya yang dapat dilihat di dengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun non elektronik”.
Artinya, siapapun pihak ketiga, yang meminta informasi kepada Joko Widodo secara langsung terkait keinginan untuk melihat ijasah aslinya, maka pemilik ijasah berhak menolak, karena tidak ada kewajiban hukum seorang Joko Widodo warga Negara sipil biasa dan bukan pejabat publik lagi untuk diminta menunjukan dokumen yang menjadi hak miliknya untuk dibuka ke publik. Kecuali, kewajiban itu dibenarkan oleh hukum, jika pihak ketiga itu meminta kepada badan publik, yaitu lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaiatan dengan penyelegaraan Negara yang sebagaian mengunakan atau seluruhnya dananya bersumber dari APBN atau APBD atau organisasi pemerintah sepanjang sebagaian atau seluruh dananya operasionalanya bersumber dari APBN atau APBD, sumbangan masyarakat dan atau luar negeri.
Universitas Gajah Mada (UGM) merupakan perguruan negeri dimana sebagian atau sepenuhnya mengunakan aggaran APBN, sehingga masuk sebagai badan publik dalam rangka memenuhi untuk menyampaikan dokumen yang berkaitan dengan institusi lembaga perguruan tinggi.
Lanjut Edi Ribut Harwanto, yang juga seorang advokat yang berkantor di Gedung Jaya Lantai 9 Jakarta Pusat ini, publik perlu mengetahui bahwa., ijasah milik Joko Widodo itu termasuk dokumen data pribadi. Dalam Pasal 1 angka ke-1 UU No 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data pribadi (PDP), dijelaskan, “data pribadi adalah data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat di indentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi laiannya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui system elektonik atau non elektronik”. Dan, subjek hukum data pribadi adalah perorangan yang pada dirinya melekat data pribadi (Pasal 1 angka ke-6 UU No 27 Tahun 20022 Tentang PDB). Hal itu, berhubungan dengan data pribadi, perorangan pribadi beserta ijasah SD., SMP, SMA, S1, KTP, Foto, Sertifikat sertifikat harta bendanya, dll milik Joko Widodo merupakan bagian dari data pribadi miliknya yang dilindungi oleh UU.
Oleh sebab itu, siapapun pihak ketiga, yang sengaja mengunakan data pribadi secara melawan hukum untuk memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk meguntungkan diri sendiri atau orang lain yang mengakibatkan kerugian subjek data pribadi. Maka, didalam ketentuan pidana Pasal 67 sampai dengan Pasal 73 mengatur sanksi pidana 5 sampai dengan 6 tahun penjara dan denda mulai dari Rp 4 miliar sampai dengan Rp 6 miliar rupiah. Selanjutnya, sanksi pidana juga dapat dijerat kepada pihak ketiga, jika pihak ketiga cara mendapatkan data pribadi atau dokumen pribadi ijasah milik Joko Widodo di dapat dengan cara melawan hukum, mengakses tanpa hak atau memperoleh atau memberikan informasi dengan tidak meminta kepada badan publik yang sah yang memiliki kompetensai dan otoritas serta hak hukum untuk membuka atau menyampaikan informasi menurut peraturan perundang-undangan dan tanpa izin pemilik data pribadi secara langsung.
Didalam ketentuan pidana Pasal 51 sampai dengan 57, UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Terhadap siapapun setiap orang yang dengan sengaja mengunakan informasi publik secara melawan hukum maka diancam pidana 1 dampai dengan 2 tahun penjara dan denda mulai dari Rp 5 juta rupiah sampai dengan Rp 20 juta rupiah. Edi Menjelaskan, yang dimaksud dengan mendapatkan informasi publik dengan cara melawan hukum adalah, pihak ketiga penguna informasi publik ketika mendapatkan data pribadi atau dokumen didapat secara tidak resmi/ illegal, sehingga dokumen tersebut tidak valid yang menimbulkan konflik hukum yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan pemilik dokumen data pribadi yang dimaksud.
Dalam aturan undang-undang, ketika penguna informasi ingin mengunakan data pribadi atau dokumen dokumen, telah diatur sebagai pemohon informasi secara prosedural dimana tujuan untuk meminta infomasi publik juga harus dijelaskan oleh pemohon informasi untuk tujuan meminta infomasi publik. Dan, jika tujuan meminta infomasi publik disalah gunakan oleh pemohon informasi publik diluar tujuan, maka hal itu dapat berdampak hukum bagi pemohon informasi publik.
Gugatan Perdata Ke Pengadilan Negeri
Menjawab pertanyaan wartawan mengenai gugatan perdata Joko Widodo, KPU, dll di Pengadilan Negeri Surakarta/Kota Solo oleh para pihak, apakah hal itu dibenerkan oleh hukum. Maka Edi Ribut Harwanto menjawab demikian. Kasus dugaan ijasah palsu Joko Widodo telah berlangsung lama, hal itu dimulai ketika salah satu penulis buku bernama Bambang Tri Mulyono mencuat dan yang bersangkutan dihukum pidana 6 tahun penjara terbukti bersalah menyebar berita bohong dan ujaran kebencian beberapa tahun lalu bersama Sugi Nur Raharja. Kurang puas, Kemudian Kelompok Eggi Sujana melakukan upaya hukum mengugat perdata kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register perkara Nomor : 610/Pdt.G/20223/PN.Jkt. Gugatan perdata yang diajukan Eggi Sujana tidak diterima oleh putusan Pengadilan Jakarta Pusat.
Bahkan, gugatan perdata juga diajukan gugatan juga ke PTUN Jakarta Pusat oleh kelompok Eggi Sujana juga tidak diterima oleh pengadilan. Tiga kali upaya hukum gagal dan kalah. Dari sisi hukum, Edi Ribut Harwanto menjelaskan, bahwa, yang harus diperhatikan dalam melakukan upaya hukum itu adalah melihat kompetensi apsolud dan kompotensi relative.
Putusan tidak dapat diterima atau kita kenal bahasa hukum niet ontvankelijk verklaaard (NO) gugatan biasanya didalam gugatanya terdapat cacat formil, dimana dalam menyususn gugatanya tidak sesuai dengan hukum acara. Seperti legal standing (kedudukan hukum) pengugat tidak jelas, kesalahan kepada penetapan kepada pihak yang terlibat atau formulasi gugatan tidak jelas.
Gugatan kurang lengkap, gugatan melangar yuridiksi tidak wewenang untuk mengadili. Putusan NO ini dapat diajukan kembali ke pengadilan. Dipengadilan Negeri, dalam kasus perdata bersifat privat/hukum sipil itu hanya memiliki tiga kompetensi pengadili, pertama kasus wanprestasi Pasal 1423 (BW), perbuatan melawan hukum yang disengaja Pasal 1365 (BW), Pasal 1366 (BW) melawan hukum tanpa kesalahan dan unsure kesengajaan maupun kelalaian), dan Pasal 1367 (BW) melawan hukuk akibat kelalaian serta class action gugatan kelompok sebagaimana diatur didalam Perma No 1 Tahun 2002. Dari ketiganya tersebut merupakan masuk ranah didalam hukum privat atau hukum sipil dimana hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang perorangan dengan focus pada kepentingan perorangan. Ciri hukum privat ini adalah, mengatur hak dan kewajiban perorangan, meliputi hukum tentang orang, keluarga, benda, perikatan, waris. Para pihak memiliki kebebasan yang luas untuk mengatur hubungan hukum sesuai dengan kesepakatan bersama. Berbeda dengan hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan warga Negara serta kepentingan umum. Hukum publik bertujuan untuk menjaga keadilan antara pemerintah dan masyarakat.
Terkait dengan kasus gugatan pihak ketiga terhadap Joko Widodo, maka saya berpendapat kasus tersebut masuk ranah hukum privat/hukum sipil bukan termasuk hukum publik secara keperdataan. Sehingga, ketika para pengugat mengajukan gugatan dipengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pengugat meminta menunjukan alat bukti yang sah ijasah asli S1 milik Joko Widodo di muka persidangan pengadilan, maka itu bukan merupakan kewajiban hukum Joko Wiodod atau kuasa hukumnya. Dalam hukum perdata dikenal prinsip actori incumbit probatio (yang mengugat dialah yang wajib membuktikan). Ini berrarti siapa yang mendalilkan ijasah palsu milik Joko Widodo palsu, maka pengugat harus mampu membuktikan dalil dalil gugatanya. Karena siapa yang menyatakan suatu hak atau peristiwa , dialah yang bertangung jawab untuk membuktikan adanya hak atau peritiwa tersebut dimuka persidangan. Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 1866 BW dan Pasal 164 HIR dan Pasal 284 RBG telah jelas disebutkan, bukti yang sah dalam hukum perdata itu, surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Jika pengugat, tidak memiliki alat bukti yang sah dokumen ijasah asli Joko Widodo pada saat pembuktian di muka persidangan, artinya dokumen yang sudah di leges bermatrai cap Pos resmi oleh pengugat, hakim sudah tentu meragukan alat bukti surat yang di miliki pengugat. 1 pengugat tidak memiliki dokumen asli ijasah S1 Joko Widido merupakan kelemahan yang fatal. Kedua, saksi lemah, tidak ada saksi pihak pengugat yang melihat langsung ijasah Joko Widodo yang asli yang dilihat hanya foto copy ijasah, hal ini juga melamahkan dari sisi hukum pembuktian. Ketiga tergugat Joko Widodo dan kuasa hukumnya juga membantah jika ijasah milik Joko Widodo palsu. Sehingga, tidak saupun alat bukti yang sah dimiliki pengugat, jikalaupun kasus ini di pengadilan negeri solo di terima kembali dan masuk pada proses pemeriksaan pokok perkara, kemungkinan besar hal itu akan mentah kembali dalam putusanya bias saja dari putusan sebelumnya NO dipengadilan negeri Jakarta pusat, bisa menjadi putusan ditolak di Pengadilan Negeri Surakarta/Kota Solo, jika pengugat kurang cukup bukti, karena minimnya alat bukti pengugat.
Pasal 163 HIR jo Pasal 283 RBG sudah jelas, pengugat wajib membuktikan dalil dalil gugatanya dimuka persidangan. Jadi bukan beban tergugat untuk membuktikan asli dan tidak ijasah milik tergugat Joko Widodo. Seementara hakim juga tidak dapat memaksakan tergugat untuk menunjukan ijasah asli miliknya, karana hakim perdata bersifat pasif berbeda dengan hakim kasus pidana yang mengejar untuk mengungkap kebenaran materil dan formilnya untuk mendapatkan keyakinan bahwa perbuatan pidana bener benar dilakukan oleh terdakwa, sebelum menjatuhkan hukuman pidana. Hakim perdata berdasarkan pengalaman saya selama 15 tahun menjadi pengacara, selalu bersifat pasif dalam mengadili perkara perdata dan lebih melihat dan mencermati pembuktian para pihak sejauh mana dapat membuktikan semua dalil para pihak pengugat maupun tergugat secara adil dan seimbang.
Hakim tidak dapat memaksa para pihak dalam pembuktian atau pemeriksaan saksi, memaksa untuk mengakui perbuatannya tidak, karena domain hukum perkara perdata ini masuk dalam rumpun hukum privat bukan hukum publik. Berbeda lagi jika masuk ranah hukum publik, siapapun setiap warga Negara memiliki hak hukum untuk melaporkan atau membuat pengaduan kepada pihak berwajiban jika melihat tindak pidana yang dapat atau mengancam keselamatan orang ataupun kejahatan umumnya lainnya.
Jika ada pihak ketiga yang berani dan merasa yakin melaporkan dugaan ijasah palsu milik Joko Widodo secara pidana ke polri dengan merujuk pasal 69 ayat (1) UU Sesdiknas, maka bagi terlapor memiliki hak hukum untuk membela diri untuk menunjukan ijasah aslinya di depan penyidik polri atas permintaan penyidik ataupun dilakukan secara paksa melalui penyitaan dokumen untuk proses penyidikan lebih lanjut terlebih dahulu meminta izin Ketua Pengadilan Negeri.
Hal itu sesaui dengan ketentuan Pasal 38 dan Pasal 38 KUHAP. Pasti terlapor akan menunjukan ijasah asli jika merasa dirinya benar dan memiliki bukti sah tanpa diminta penyidikpun akan ditunjukan ijasah aslinya, karena jika tidak ditunjukan maka dampak hukumnya menjadi tersangka pengunaan ijasah palsu dan masuk penjara. Jika terbukti ijasah terlapor yang digunakan untuk kepentingan terlapor melamar menjadi pejabat dipemerintahan dan telah digunakan ijasah palsu misalnya, maka bagi terlapor juga dapat dijerat pasal tambahan yaitu Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, karena dengan mengunakan ijasah palsu untuk kepentingan dirinya didalam mendapatkan jabatan di permintahan didapat dengan cara melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain, korporasi, yang menyebabkan kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Sehingga kerugian itu dapat di hitung sejak menerima fasilitas, gaji, tunjangan jabatan, dll, sejak pertama di Kota Solo sebagai walikota solo, gubernur DKI dan sampai ke jabatan Presiden dua periode. Namun, kebijakan dalam admintrasi pemerintahan atau hukum ketatanegaraan, kebijakan, berupa perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral dll selama Joko Wiododo menjabat tidak dapat dibatalkan atau batal demi hukum, karena jabatan yang di emban secara konstitusi telah disahkan melalui pengangkatan dan sumpah jabatan dan dilantik oleh pejabat yang berkempoten sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, jika dalam kasus perdata, hakim tidak dapat memaksa, kalaupun hakim memaksa untuk menunjukan ijasah ali tergugat, maka tergugat juga punya hak hukum untuk menolak. Hakim berpedoman pada Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, “ hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat”. Dalam hal ini, hakim pasti akan melihat, apakah dalam perkara gugatan pihak ketiga terhadap tergugat Joko Widodo legal standing kedududkan hukum pihak pengugat sudah sesuai hukum acara. Semestinya kedudukan hukum yang benar yang dapat mengugat secara perseorangan adalah dekan dan rektor UGM karena ada dugaan adanya pemalsuan, secara hukum privat dua nama itu yang tercantum di ijasah yang dipalsukan. Dan, secara hukum pidana, juga dapat menempuh jalur hukum publik secara pidana. Faktaknya, pejabat dekan dan rektor UGM tidak mempersoalkan dan telah menegaskan ijasah milik Joko Widodo Asli.
Dengan penjelasan secara resmi ini dari lembaga, artinnya masalah selesai karena secara kedudukan hukum secara hukum privat keperdataan pejabat dekan dan rektor UGM itulah yang memiliki hak hukum menuntut Joko Wiododo. Apakah pengugat saat ini miliki kedududkan hukum yang dibenarkan dalam hukum acara perdata dalam lingkup hukum privat.? Hakim akan membuat temuan hukum baru atau norma baru dalam mewujudkan keadilan masyaraat, manakala tidak ada aturan hukum positif yang mengatur, namun jika aturan hukum positif ada yang mengatur, tentang UU Perlindungan Data Pribadi (PDB), UU Informasim Publik mengenai perlindungan data pribadi, terus ada UU sesdiknas, UU Kepolisian dan KUHAP, yang dapat meminta terlapor menunjukan ijasah asli, hal itu menunjukan hakim tidak perlu membuat norma baru dalam penemuan hukum. Karena hukum positif ada yang mengatur mengenai hal pembuktian diranah hukum pidana. Oleh sebab itu, didalam gugatan perdata pengadilan negeri Solo nanti, jika hakim yang mengadili menerima dan memeriksa perkara pokoknya dalam gugatan tersebut, maka peluang bagi tergugat Joko Wiododo dan KPU Surakarta/Kota Solo untuk melakukan gugatan rekonvensi atau gugatan balik terhadap pengugat dalam satu perkara perdata sebagaimana diatur didalam ketentuan Pasal 132a HIR.
Dalam hal ini jika tergugat merasa di rugikan akibat serangan fitnah ijasah palsu, juga dapat di manfaatkan untuk meminta ganti rugi meteril dan immaterial kepada pengugat, selain tergugat menempuh jalur pidana melalui Pasal 28 ayat (1) UU ITE bagi pelangaran dapat di ancam pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar rupiah. Tergugat tidak dapat mengunakan pasal di KUHP maupun UU lain, karena didalam Buku I KUHP, di pasal 63 Ayat (2) telah tegas di jelaskan. “jika suatu perbuatan melanggar ketentuan pidana umum dan ketentuan khusus, maka ketentuan khusus yang digunakan”. (lex specialis derogate legi generali”).
Sementara Pasal 433 UU No 1 Tahun 2023 Tentang KUHP Nasional, tentang perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan tuduhan baik lisan maupun tulisan dimedia social mulai berlakunya 1 Februari 2026 mendatang. ‘begitulah kira kira pendangan hukum saya hal ini untuk mengedukasi publik agar dapat memahami alur hukum yang benar dan tidak berpendapat liar di era peradaban post trust ruang media social.
Semoga pandangan hukum saya ini bermanfaat untuk masyarakat Indonesia dengan melihat masalah dengan bijak dan dalam kontek hukum bukan dari kontek kebencian. Ingat perintah Allah SWT di alquran pada surat Al-Maidah 8 mengenai ajaran tentang keadilan, kejujuran, tidak boleh memihak, membenci orang membabi buta, karena berbeda golongan kelompok,”kata Edi Ribut Harwanto yang juga dosen ahli hukum pidana Pascasarjana Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Metro ini.
Penulis : Fahmy Nurdin
Editor : Fahmy Nurdin