JAKARTA – Dalam sebuah renungan mendalam yang mengetuk kesadaran jiwa dan membuka mata hati, Sultan Sepuh Jaenudin II ArianatarejaKetua Dewan Adat Nusantara Republik Indonesia (DAN-RI LNPKRI) menyampaikan pandangan penting tentang posisi strategis Kerajaan dan Kesultanan Nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kamis (24/7).
Dengan mengangkat tema “Harmonisasi dan Sinergitas Raja Sultan Nusantara dan Presiden Republik Indonesia”, beliau mengajak seluruh pemangku adat dan negara untuk kembali menyatukan peran demi keutuhan dan kemakmuran bangsa.
Negara dalam Negara: Realitas Sejarah Nusantara
Menurut Sultan Sepuh, selama 79 tahun sejak berdirinya Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945, telah terjadi sebuah fenomena historis dan konstitusional yang jarang disadari publik: keberadaan “negara dalam negara”. Negara baru, yakni Republik Indonesia, berdiri di atas tanah kerajaan dan kesultanan yang secara historis tidak pernah dinyatakan kalah perang, dijajah, atau hilang kemerdekaannya secara sah.
Dalam sejarah, Kerajaan dan Kesultanan Nusantara tetap merdeka, karena tidak ada satu pun kekuatan penjajah yang secara resmi memproklamasikan kemerdekaan di bumi Nusantara. Republik Indonesia sendiri lahir sebagai hasil restu dan perjuangan para pemuda serta tokoh adat, yang kemudian mengangkat nama “Indonesia” sebagai simbol pergerakan nasional, bukan sebagai kekuatan penjajah atas kerajaan-kerajaan lokal.
Contoh Nyata Integrasi Negara dalam Negara
Berbagai kerajaan dan kesultanan yang masih eksis secara budaya dan wilayah hingga kini menjadi bukti nyata dari sistem negara dalam negara. Di antaranya:
• Kesultanan Cirebon
• Kesultanan Samudera Pasai
• Kesultanan Jambi
• Kesultanan Ternate
• Kesultanan Banten
• Kerajaan Kutai
• Kerajaan Gowa
• Kerajaan Luwu
• Kesultanan Yogyakarta
• Kerajaan Bali
Dan kerajaan-kerajaan lainnya di seluruh penjuru Nusantara
Dua Pilar Tata Kelola Nusantara
Sultan Sepuh menyampaikan bahwa sudah saatnya tata kelola Nusantara diatur dalam dua pilar:
Pilar Administratif: Republik Indonesia bertugas menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan modern seperti perpajakan, tata ruang, pertahanan, diplomasi, pengelolaan SDA, dan lainnya.
Pilar Adat dan Kerakyatan: Kerajaan/Kesultanan bertugas mengurus masyarakat adat, membangkitkan ekonomi kerakyatan di wilayah adat, menjaga kedaulatan budaya dan tanah ulayat, serta menjadi mitra pengawasan moral terhadap jalannya negara.
Dengan pengelolaan seperti itu, peran Raja dan Sultan tidak semata simbolik, tetapi memiliki fungsi kultural, sosial, dan ekonomi yang nyata di wilayah ulayat masing-masing.
Dasar Hukum Tanah Ulayat dan Kedaulatan Adat
Sultan Sepuh juga menekankan pentingnya memahami dasar hukum yang mengakui keberadaan tanah-tanah ulayat kerajaan/kesultanan. Beberapa regulasi yang relevan antara lain:
• UUD 1945 Pasal 18B ayat (2)
• UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Pasal (3)
• PP No. 224 Tahun 1961 Pasal 4 ayat (1)
• PP No. 18 Tahun 2021 Pasal 98 ayat (2)
• Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2024
Regulasi-regulasi ini menyebut secara eksplisit bahwa tanah bekas swapraja dapat dikelola dan dimiliki kembali oleh para pemegang hak ulayat sebagai ahli waris kerajaan dan kesultanan untuk kepentingan adat.
Peran Strategis Dewan Adat Nusantara Republik Indonesia (DAN-RI)
Dalam kerangka itulah Dewan Adat Nusantara Republik Indonesia (DAN-RI) hadir sebagai wadah sinergi antara kekuatan adat dan negara. DAN-RI bertugas menyatukan visi antara Negara Republik Indonesia dan Kerajaan/Kesultanan sebagai mitra sejati dalam menjaga keutuhan NKRI dan mengelola seluruh aset Nusantara menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Seruan Bangkitnya Para Raja dan Sultan
Sultan Sepuh mengajak para Yang Mulia Raja dan Sultan Nusantara untuk bangkit dan mengambil kembali peran strategis dalam membangun kesejahteraan masyarakat adat. Menurut beliau, sudah saatnya amanah leluhur dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
“Negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Saatnya kita bersama-sama bergandeng tangan menjaga Bumi Nusantara, bukan hanya dengan kekuasaan administratif, tetapi dengan kasih, perlindungan, dan kebijaksanaan leluhur.”
Beliau juga menegaskan bahwa tidak ada tanah terlantar di Nusantara. Semua tanah memiliki pemilik dan ahli waris yang sah, yakni para penerus kerajaan/kesultanan. Karena itu, beliau meminta negara berhati-hati dalam merancang regulasi pertanahan dan pengelolaan sumber daya di wilayah adat.
Menjaga NKRI dalam Makna Kesatuan Sejati
Makna Kesatuan dalam NKRI harus dimaknai secara mendalam, yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari negara-negara kerajaan dan kesultanan Nusantara yang bersatu dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.
“Masyarakat Nusantara menunggu kita. Mereka rindu kasih dari para pemimpinnya. Seperti leluhur kita dulu mencintai rakyatnya, kini saatnya kita melanjutkan tahta yang mulia ini dengan penuh amanah,” ujar Sultan Sepuh menutup renungan tersebut.
Penulis : Fahmy Nurdin
Editor : Fahmy Nurdin