JAKARTA – Langkah Presiden Prabowo Subianto yang menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan menuai reaksi beragam. Setelah sebelumnya menyampaikan komitmen membuka hutan untuk pangan dan energi serta menyatakan bahwa kelapa sawit bukan penyebab deforestasi, kebijakan ini dinilai paradoksal.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Hilman Firmansyah, menyampaikan kekhawatiran bahwa penertiban ini bisa berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi dan sosial, terutama di sektor perkebunan kelapa sawit yang menjadi tumpuan hidup jutaan petani dan buruh.
“Kalau penertiban ini tidak dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai hukum, ini justru bisa memperburuk investasi, memperdalam konflik sosial, bahkan memicu kemiskinan,” kata Hilman dalam keterangan persnya, Sabtu (2/8).
Menurut Hilman, peraturan ini juga menjadi bagian dari upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara, menyusul defisit anggaran akibat kasus megakorupsi senilai ribuan triliun rupiah yang menyeret nama Riza Chalid di tubuh Pertamina.
“Melalui denda administratif atas lahan sawit rakyat dan korporasi, pemerintah berharap bisa membiayai program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, investasi Danantara, hingga membayar utang luar negeri sebesar Rp7.033 triliun yang diwariskan dari era Presiden Joko Widodo,” jelas Hilman.
Tak hanya itu, adik Presiden Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, juga menyatakan bahwa para pengusaha kelapa sawit telah bersedia menyetor pajak yang tertunggak.
“Sudah ada komitmen pembayaran tahap pertama senilai Rp189 triliun, dan bisa bertambah hingga Rp300 triliun, hasil audit BPK kepada Presiden Prabowo,” kata Hashim dalam kesempatan terpisah.
Namun, Hilman mempertanyakan kredibilitas BPK. “Kenapa baru sekarang dilaporkan? Selama puluhan tahun ke mana saja BPK? Bukankah banyak pejabatnya sendiri tersangkut korupsi?” ujar Hilman tajam.
Dampak Sosial-Ekonomi Mengintai
Hilman juga menyoroti potensi dampak serius dari kebijakan ini terhadap kehidupan petani dan buruh kelapa sawit. Ia menyebut setidaknya ada 9 risiko besar, antara lain:
• Pengurangan luas lahan sawit, yang bisa menurunkan produksi nasional dan menyerap lebih sedikit tenaga kerja.
• Potensi kerugian dan korupsi dalam pengelolaan lahan sitaan oleh BUMN seperti PT Agrinas Palma Nusantara, yang menurutnya tidak lebih baik dari pengalaman buruk di PTPN.
• Ketidakpastian hukum dan konflik sosial dengan masyarakat adat atau petani.
• Stigma kriminalisasi petani melalui tuduhan penguasaan kawasan hutan.
• Pemutusan hubungan kerja massal akibat pengurangan lahan.
• Ledakan pengangguran dan kemiskinan, terutama di luar Jawa.
• Anak-anak petani terancam putus sekolah akibat kehilangan mata pencaharian orang tua mereka.
• Militerisasi kawasan hutan yang dikhawatirkan menciptakan ketakutan.
• Ketimpangan penegakan hukum, di mana hanya lahan rakyat yang disita, sedangkan korporasi besar tetap bebas.
Salah satu contoh disebutkan adalah kawasan Register 40 Padang Lawas, di mana ribuan hektare perkebunan rakyat disita oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), meski telah memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik).
“Sementara tiga perusahaan sawit besar seperti PT Mazuma Agro Indonesia, PT ANJ Agri, dan PT BARAPALA yang juga beroperasi di register 40, tidak tersentuh. Apa bedanya mereka dengan petani kami?” tegas Hilman.
Dugaan Perlakuan Istimewa
Ia juga mengungkapkan dugaan bahwa sejumlah perusahaan besar, termasuk Grup Surya Dumai (First Resource) dan PT Duta Palma Grup, telah lama menguasai kawasan hutan tanpa izin, namun hingga kini belum disita.
“Kalau memang mau adil dan menyelamatkan hutan, jangan pilih kasih. Ada dugaan kuat perusahaan-perusahaan itu tidak punya HGU dan menanam sawit tanpa izin pelepasan hutan,” lanjutnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tajam dari masyarakat. Salah satu warga dari kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Abdul Aziz, mengatakan, “Negara ini mau selamatkan gajah atau rampas kebun kami? Kami ini petani, bukan perambah hutan.”
Perlu Landasan Hukum yang Jelas
Hilman mengingatkan bahwa penyelesaian lahan sawit seharusnya mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 24 Tahun 2021, yang mengatur tata cara legalisasi kebun di kawasan hutan.
“Perpres 5/2025 tidak mengatur penyitaan. Pengambilalihan lahan juga harus melalui proses hukum yang sah, tidak bisa asal klaim kawasan,” tutup Hilman.




































