JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi impor gula yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp578 miliar, pada Jumat (26/9/2025).
Persidangan menghadirkan dua saksi ahli, yakni Dr. Erdianto, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Negeri Riau, serta Khusnul Khotimah, Auditor Ahli Muda dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Denie Arsan Fatrika tersebut berlangsung tegang dan sempat ricuh akibat adu argumen antara Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan kuasa hukum terdakwa Direktur PT Angels Products, Tony Wijaya, yaitu Hotman Paris Hutapea.
Dalam keterangannya, saksi ahli hukum pidana Dr. Erdianto menegaskan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama tidak harus terjadi di lokasi yang sama. Menurutnya, yang terpenting adalah adanya kehendak, niat, dan tujuan yang sama dari para pelaku untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
“Dalam hukum pidana, pelaku dapat disebut melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama meski tidak berada di tempat yang sama, asalkan terdapat kesamaan kehendak dan tujuan,” ujar Erdianto di hadapan majelis hakim.
Sementara itu, saksi ahli dari BPKP, Khusnul Khotimah, menyampaikan hasil audit yang menyebutkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp578 miliar akibat praktik impor gula yang diduga melibatkan para terdakwa.
Namun, kesaksiannya kemudian memicu perdebatan panas ketika Hotman Paris mengajukan pertanyaan terkait dasar perhitungan Cost Insurance Freight (CIF) yang digunakan BPKP dalam menghitung kerugian negara.
Hotman menekankan, apakah perhitungan tersebut berbasis pada harga Gula Kristal Putih (GKP) – barang yang diimpor, atau Gula Kristal Mentah (GKM).
Awalnya, Khusnul menjelaskan bahwa BPKP menggunakan berbagai dokumen dalam menghitung CIF, tidak hanya satu. Namun setelah diperlihatkan dokumen audit, ia membenarkan bahwa perhitungan CIF didasarkan pada harga GKM ditambah tarif 10 persen.
Menanggapi jawaban tersebut, Hotman menilai perhitungan BPKP keliru karena seharusnya menggunakan harga GKP. Ia menuding Khusnul terpojok setelah mengakui hal itu di persidangan.
“Jadi, sudah Anda terpojok, Anda mengakui…” kata Hotman sebelum interupsinya dipotong oleh keberatan JPU yang menuding Hotman menyimpulkan keterangan saksi.
Ketegangan meningkat saat suara Hotman dan jaksa saling meninggi hingga membuat suasana ruang sidang gaduh.
“Bahasa rekayasa keberatan. Kami keberatan dengan bahasa rekayasa,” ujar salah satu jaksa dengan nada tinggi.
Pertikaian verbal itu membuat suara dari kedua kubu bertubrukan melalui mikrofon, sehingga sebagian ucapan tidak terdengar jelas.
Melihat situasi semakin panas, Ketua Majelis Hakim Denie Arsan Fatrika mengetuk palu sebanyak tiga kali untuk menenangkan suasana.
Hakim mengingatkan baik pihak jaksa maupun penasihat hukum terdakwa agar lebih tertib dalam memberikan pertanyaan maupun keberatan.
“Cukup. Ini bagian kami. Silakan melanjutkan pertanyaan dengan kata-kata yang lebih sopan,” tegas Hakim Denie kepada Hotman.
Tak hanya kuasa hukum terdakwa, hakim juga memberi peringatan kepada tim JPU agar berbicara pada saat diberi kesempatan.
Setelah ketegangan mereda, sidang dilanjutkan kembali dengan pemeriksaan saksi ahli.
Dalam perkara ini, lima terdakwa termasuk Tony Wijaya didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Mereka diduga terlibat dalam manipulasi mekanisme impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menyebabkan kerugian negara.
Sidang lanjutan perkara ini dijadwalkan akan menghadirkan kembali saksi-saksi dan ahli untuk memperdalam pembuktian dugaan tindak pidana korupsi impor gula tersebut.
Penulis: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































