JAKARTA – Praktik sewa-menyewa rumah merupakan salah satu bentuk hubungan hukum keperdataan yang paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Aktivitas ini diatur secara rinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang memberikan pedoman jelas mengenai hak, kewajiban, serta konsekuensi hukum bagi pihak penyewa dan pihak yang menyewakan rumah.
Menurut ketentuan Pasal 1550 KUHPerdata, pihak yang menyewakan rumah memiliki tiga kewajiban utama. Pertama, menyerahkan rumah yang disewakan kepada pihak penyewa dalam kondisi layak huni.
Kedua, memelihara rumah agar tetap dapat digunakan sesuai tujuan sewa. Ketiga, memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati rumah tersebut dengan aman dan tenteram selama masa perjanjian.
Meskipun kewajiban tersebut terkadang tidak disebutkan secara eksplisit dalam perjanjian, secara hukum ketiganya melekat pada pihak yang menyewakan. Artinya, pemilik rumah tidak dapat mengabaikan tanggung jawab pemeliharaan maupun hak penyewa untuk menempati rumah tanpa gangguan.
Di sisi lain, Pasal 1560 KUHPerdata menegaskan dua kewajiban utama bagi penyewa rumah, yaitu:
• Menggunakan dan memelihara rumah dengan baik sesuai perjanjian dan peruntukannya.
• Membayar biaya sewa tepat waktu sebagaimana ditentukan dalam kontrak.
Apabila penyewa menggunakan rumah untuk tujuan lain di luar perjanjian, misalnya menjadikannya tempat usaha atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pemilik rumah, maka berdasarkan Pasal 1561 KUHPerdata, pihak pemilik dapat menuntut pembatalan perjanjian sewa.
KUHPerdata melalui Pasal 1579 memberikan perlindungan kepada penyewa dengan menegaskan bahwa pihak yang menyewakan tidak diperbolehkan menghentikan sewa secara sepihak dengan alasan ingin menggunakan rumah tersebut, kecuali telah diatur secara jelas dalam perjanjian sewa.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum bagi penyewa dan mencegah tindakan sewenang-wenang dari pihak pemilik.
Selama masa sewa, bisa saja terjadi kerusakan atau kebakaran. Berdasarkan Pasal 1564 dan 1565 KUHPerdata, penyewa bertanggung jawab atas kerusakan yang timbul akibat kelalaiannya.
Namun, apabila kerusakan atau kebakaran terjadi bukan karena kesalahan penyewa, maka tanggung jawab tersebut gugur.
Kondisi kebakaran atau kerusakan yang timbul akibat force majeure, yakni peristiwa di luar kendali manusia seperti bencana alam, tidak dapat dibebankan kepada penyewa. Dalam hal ini, hukum memandang bahwa tidak ada pihak yang bersalah.
Pasal 1553 KUHPerdata menegaskan bahwa apabila rumah yang disewakan musnah karena force majeure, maka perikatan sewa menyewa gugur demi hukum.
Artinya, kontrak dianggap berakhir tanpa perlu persetujuan tambahan dari kedua belah pihak. Jika hanya sebagian rumah yang rusak, penyewa berhak meminta pengurangan harga sewa atau pembatalan perjanjian, tanpa menuntut ganti rugi.
Namun, bagaimana jika sebagian rumah rusak sedemikian rupa hingga tidak dapat difungsikan lagi sebagai tempat tinggal yang layak? Apakah perjanjian otomatis gugur atau tetap memerlukan pembatalan formal?
Pertanyaan ini telah dijawab oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 287 K/Sip/1959, yang diputus oleh Majelis Hakim Agung R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., bersama M.H. Tirtaamidjaja, S.H., dan M. Abdurrachman, S.H.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menjelaskan bahwa untuk dikatakan “musnah seluruhnya” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1553 KUHPerdata (geheel en al vergaan), tidak harus berarti rumah itu hancur total secara fisik. Cukup apabila kondisi rumah telah berubah sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan lagi sesuai tujuan sewa.
Dengan demikian, apabila sebagian rumah musnah akibat force majeure dan tidak dapat difungsikan kembali sebagai hunian layak, maka perikatan sewa menyewa dianggap gugur demi hukum tanpa memerlukan pembatalan tambahan.
Sebaliknya, apabila kerusakan atau kemusnahan rumah disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan penyewa, maka penyewa wajib mengganti kerugian kepada pemilik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1560 dan 1565 KUHPerdata. Prinsip ini menegaskan asas tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dalam perjanjian perdata.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum sewa-menyewa rumah merupakan bentuk perikatan timbal balik yang menuntut keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan.
KUHPerdata, bersama dengan yurisprudensi Mahkamah Agung, telah memberikan kerangka hukum yang jelas untuk melindungi kedua belah pihak dari potensi perselisihan, terutama dalam situasi luar biasa seperti force majeure.
Dengan memahami prinsip-prinsip ini, masyarakat diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam membuat perjanjian sewa-menyewa rumah dan menyadari konsekuensi hukum yang mungkin timbul.
Penulis berharap artikel ini dapat menjadi referensi bermanfaat bagi para praktisi hukum, akademisi, maupun masyarakat umum dalam memahami dasar hukum sewa-menyewa rumah di Indonesia.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































