JAKARTA – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam penyaluran kredit di Bank Negara Indonesia (BNI) kembali berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025). Perkara bernomor 88-89-90/Pidsus-TPK/2025 itu menghadirkan dua ahli yang diminta memberikan keterangan terkait proses audit internal dan mekanisme penyaluran kredit di BNI.
Satu ahli hadir langsung di ruang sidang, sementara satu lainnya memberikan keterangan melalui sambungan Zoom. Namun, sebelum pemeriksaan dimulai, majelis hakim menegaskan bahwa ahli yang hadir secara daring wajib berada di kantor Kejaksaan atau Pengadilan setempat sebagai bagian dari prosedur resmi pemeriksaan jarak jauh. Majelis sempat menunda pemeriksaan ahli daring tersebut hingga dipastikan berada di lokasi resmi yang ditentukan.
Kuasa hukum terdakwa Lia Hertika Hudayani, Erdi Surbakti, SH, MH, tampil aktif menguji ketepatan data dan kesimpulan audit yang dilakukan oleh ahli auditing internal BNI, Suprayogi. Dalam pemeriksaan, Erdi mengarahkan pertanyaan mengenai sumber data yang digunakan auditor, termasuk apakah dokumen yang diperiksa merupakan dokumen asli atau salinan.
Suprayogi menjelaskan bahwa laporan audit disusun berdasarkan dokumen yang tersedia dalam sistem pemeriksaan internal. Saat ditanya mengenai ruang lingkup audit periode 2020–2023, termasuk temuan dugaan kelemahan proses di delapan lokasi, ia menyebut seluruh kesimpulan diperoleh dari laporan hasil audit internal BNI.
Erdi kembali menekan ahli dengan mempertanyakan apakah metode audit tersebut telah mencakup klasifikasi, verifikasi data, serta pengecekan lapangan. Ia menyoroti aspek pertanggungjawaban profesional dalam menarik kesimpulan audit yang kemudian dijadikan dasar dalam proses hukum.
Menjawab pertanyaan tersebut, Suprayogi menegaskan bahwa dirinya hanya memberikan keterangan berdasarkan hasil pemeriksaan internal, tanpa melakukan analisis tambahan di luar dokumen audit.
Sidang semakin dinamis ketika Erdi menyinggung adanya data kredit yang disebut tidak lengkap namun tetap lolos verifikasi. Ia menanyakan soal dokumen “pomp” dan data debitur yang kosong, termasuk bagaimana kelalaian tersebut dapat terjadi dalam proses penyaluran kredit yang seharusnya melewati beberapa lapis verifikasi di BNI.
Menanggapi hal itu, ahli menyatakan bahwa seluruh data yang masuk dalam pemeriksaan telah digabung dalam satu laporan audit. Namun ketika ditanya apakah laporan audit tersebut cukup untuk menyimpulkan adanya indikasi tindak pidana oleh para terdakwa, ia menjawab “tidak tahu”, dan menyerahkan penilaian tersebut kepada aparat penegak hukum.
Jawaban ini mendapat perhatian majelis, mengingat audit internal BNI menjadi salah satu alat bukti yang diajukan dalam persidangan.
Dalam bagian lain pemeriksaan, ahli memaparkan bahwa audit turut mencakup penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di wilayah BNI Daan Mogot dan Jakarta Kota. Ia menyebut adanya fasilitas kredit hingga Rp100 juta per debitur perorangan dan plafon yang mencapai Rp500 juta pada wilayah tertentu.
Namun ketika kuasa hukum meminta penjelasan lebih rinci terkait konstruksi kredit, proses penyaluran, hingga kesesuaian dengan ketentuan KUR, ahli menyatakan tidak dapat memaparkan lebih jauh karena keterbatasan ruang lingkup audit yang ia lakukan.
Majelis hakim menutup sidang dengan menyampaikan bahwa pemeriksaan ahli akan dilanjutkan pada agenda berikutnya setelah memastikan seluruh saksi ahli hadir sesuai prosedur resmi. Baik jaksa penuntut umum maupun tim pembela terdakwa diharapkan dapat mempersiapkan daftar pertanyaan lanjutan untuk memperdalam duduk perkara.
Perkara ini menjadi sorotan karena menyangkut dugaan penyimpangan dalam penyaluran kredit di BNI, termasuk KUR, yang diduga membuka celah bagi pemberian fasilitas kredit tanpa kelengkapan data.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































