Bencana ekologi yang terjadi di Sumatera, tak terbantahkan lagi penyebabnya adalah deforestasi, perubahan hutan menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan kelapa sawit. Karena pohon kelapa sawit — yang ada daunnya itu — bagaimana pun tidak mampu menyerap air hujan jatuh dari langit.
Dalam rangka menciptakan hutan tanaman industry dan perkebunan kelapa sawiit itu, segala benda yang ada di dalam hutan, terutama kayu-kayu hasil penebangan hutan, dibawa pula oleh air, dan di dalam perjalanan, menghantam apa saja yang ada di bawah, terutama jembatan-jembatan di atas sungai, serta bangunan-bangunan yang dilewatinya.
Tanpa pohon dan akar-akarnya yang kuat, tanah juga tak mampu mencengkeram dengan baik, sehingga terjadi longsor. Air bercampur lumpur dan batang kayu, menjadi kekuatan yang dahsyat untuk meluluhlantakan apa saja yang ada di bawahnya.
Akibat bencana air bah di 3 Provinsi di Sumatera: Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, korban meninggal per hari ini berjumlah 1.059, 192 masih hilang, 577.600 jiwa mengungsi, dan 147 rumah rusak. Sungguh bencana yang luar biasa! Belum dihitung berapa kerugian total, belum lagi habitat hewan endemik yang hilang.
Pasca kiamat kecil yang terjadi di Sumatera ini, diskursus tentang bahaya tanaman kelapa sawit terhadap alam, Kembali mencuat.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Mufika Nur Fuaddah di Nationalgeografic.co.id pada tanggal 13 Desember 2025 memaparkan:
Mengubah hutan menjadi perkebunan sawit monokultur memiliki sejumlah dampak signifikan terhadap manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Dampak tersebut terutama terlihat pada keanekaragaman hayati di ekosistem tropis, terutama melalui hilangnya habitat dan penyederhanaan ekosistem.
Peneliti utama Jochen Drescher dari Departemen Ekologi Hewan, Universitas Göttingen, Jerman, dalam Ecological and Socio-economic Functions Across Tropical Land Use Systems After
Rainforest Conversion mengungkap dampak konversi dari hutan ke perkebunan monokultur di Provinsi Jambi. Dalam penelitiannya tahun 2016 yang terbit di The Royal Society tersebut, ia meyebutkan bahwa konversi hutan menyebabkan kehilangan besar keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi ekosistem, yang dapat mengancam kesejahteraan manusia dalam jangka panjang.
Banyak lagi artikel yang menjelaskan tentang untung rugi membuka perkebunan kelapa sawit. Kalau disimpulkan, bahayanya lebih besar dibandingkan keuntungannya. Khususnya buat rakyat. Kalau buat pengusaha tentu saja perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan.
Tetapi apakah pasca bencana besar di Sumatera, semangat untuk membabat hutan dan menjadikannya kebun kelapa sawit, akan surut? Ternyata tidak.
Tak kurang Presiden RI Prabowo Subianto berharap, Papua turut ditanami sawit agar dapat berswasembada energi dengan menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) dari sawit.
“Dan juga nanti kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit,” kata Prabowo saat memberi pengarahan dalam rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12/2025), seperti dikutip Kompas.com Hutan Adat Rusak Akibat Eksplorasi Skala Besar di Tanah Papua
Jurnalis Masyarakat Adat di Jayapura, PapuaOleh Nesta Makuba dalam artikenlya berjudul “Hutan Adat Rusak Akibat Eksplorasi Skala Besar di Tanah Papua” dalam laman Masyarakat Adat Papua, membeberkan:
Hutan adat di tanah Papua dilaporkan telah rusak akibat maraknya eksplorasi yang dilakukan dalam jumlah skala besar terhadap sumber daya alam Papua seperti tambang emas, nikel, kayu, minyak dan gas (migas).
Eksplorasi besar-besaran terhadap sumber daya alam Papua ini dapat mengancam eksistensi Masyarakat Adat yang hidupnya sangat bergantung pada alam dan hutan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua Maikel Peuki menyebut eksplorasi sumber daya alam skala besar di tanah Papua terjadi setelah adanya pemekaran wilayah yang membagi Papua menjadi enam propinsi. Pemekaran wilayah Papua menjadi pintu masuk investasi yang berpotensi merusak lingkungan, terutama hutan adat.
Nah, jika perkebunan sawit dalam skala besar dibuka di Papua, tentu akan makin banyak hutan di Papua yang beralih fungsi. Bukan tidak mungkin ini pun akan mendatangkan bencana ekologis di bumi Papua pada masa mendatang.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan anugerah bagi Bangsa Indonesia, karena dengan sawit, diharapkan Indonesia akan swasembada BBM ke depan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kebutuhan BBM hingga September 2025 rata-rata mencapai 232.417 kilo liter (kl) per hari. 50 % di antaranya berasal dari impor. Agar bisa dinikmati masyarakat, pemerintah mengeluarkan subsidi ratusan triliun rupiah per tahun. Termasuk untuk listrik dan LPG.
Beban itulah yang menggiring pemerintah untuk mengurangi impor dan subsidi BBM, dengan cara meningkatkan kandungan lokal untuk mencampur BBM, yang bisa dibuat dari kelapa sawit. Semakin banyak perkebunan kelapa sawit, maka bahan baku campuran BBM yang dihasilkan akan semakin banyak.
Namun sawit membutuhkan lahan yang sangat luas. Sampai dengan tahun 2025 diperkirakan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 17,3 juta hektar. Perkebunan kelapa sawit sudah merambah hampir semua pulau besar di Indonesia. Di Sumatera dan Kalimantan, Sebagian besar hutan primer sudah hilang. Bencana air bah yang terjadi baru-baru ini, tak bisa disangkal, karena semakin berkurangnya jumlah hutan primer.
Indonesia kini tengah menghadapi buah simalakama. Membuka perkebunan kelapa sawit dengan melakukan deforestasi menyebabkan kerusakan ekologi, tapi tanpa pengembangan kelapa sawit, pemerintah makin berat memberikan subsidi BBM. Akankah pemerintah mengambil keputusan yang berbahaya: membuka perkebunan kelapa sawit, meski pun bencana ekologi mengancam. (herman Wijaya)
Foto: Hutan di Papua (IG Hutan Papua)




































