TANGERANG – Sidang lanjutan perkara sengketa lahan dengan Nomor 1530/Pid.B/2025/PN.TNG kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada Senin (3/11/2025). Sidang yang menarik perhatian publik ini menghadirkan dua orang saksi, yakni Bahar, orang kepercayaan pelapor Abadi Tjendra, dan Muhammad, mantan Lurah Karang Mulya, Ciledug.
Sidang tersebut dipimpin oleh Majelis Hakim Ali Murdiat, dan berlangsung dinamis lantaran kedua saksi memberikan keterangan yang berbeda terkait proses awal jual beli lahan yang kini disengketakan.
Dalam persidangan, saksi Bahar menjelaskan bahwa perkenalannya dengan tanah sengketa bermula saat seseorang bernama Didi mendatanginya dan menyampaikan informasi bahwa ada tanah yang akan dijual. Bahar kemudian melaporkan informasi itu kepada Abadi Tjendra.
Atas informasi tersebut, Bahar bersama Abadi menemui Iswandi Rifqi, yang disebut sebagai pemilik tanah. Setelah pertemuan, Bahar meninjau langsung lokasi lahan dan menemukan area tersebut sudah ditempati dan memiliki bangunan semi permanen yang dikelilingi pagar.
Menurut Bahar, ia sempat menanyakan perihal penghuni di atas tanah tersebut kepada Iswandi, dan dijawab singkat oleh Iswandi, “Itu tanggung jawab saya.”
Setelah itu, Bahar dan Abadi Tjendra menemui Lurah Karang Mulya bersama Iswandi dan istrinya untuk membahas transaksi di kantor kelurahan.
Dalam pertemuan itu, kata Bahar, Abadi dan Iswandi mencapai kesepakatan harga di sebuah ruangan khusus.
Tiga hari kemudian, menurut Bahar, pembayaran dilakukan secara tunai di rumah makan Megdy, dan disaksikan langsung oleh dirinya.
Namun, kesaksian Bahar itu dibantah oleh Muhammad, mantan Lurah Karang Mulya, yang dihadirkan sebagai saksi berikutnya. Muhammad menjelaskan, dirinya yang justru mempertemukan Abadi Tjendra dan Bahar dengan pemilik tanah, Iswandi Rifqi, di kantor kelurahan.
Muhammad mengatakan, Abadi dan Bahar datang ke kantor kelurahan menyatakan niat membeli tanah, tetapi mengaku belum mengenal pemiliknya. Karena itu, Muhammad berinisiatif menghubungi Iswandi dan mempertemukan kedua belah pihak untuk membicarakan harga jual beli.
Muhammad menegaskan bahwa pertemuan tersebut dilakukan secara terbuka di kantor kelurahan, bukan di tempat lain. Ia juga tidak mengetahui adanya transaksi tunai di luar kantor kelurahan sebagaimana diklaim oleh saksi Bahar.
Perbedaan mencolok dalam kesaksian para saksi menjadi sorotan kuasa hukum terdakwa. Erdi Surbakti, S.H., M.H., selaku penasihat hukum terdakwa Andreas Tarmudi dan Januaris Siagian, menilai kesaksian Bahar dan Abadi Tjendra penuh kejanggalan dan saling bertentangan.
Erdi menyoroti fakta bahwa Bahar menyebut pembayaran dilakukan secara tunai di rumah makan, sementara Abadi Tjendra dalam persidangan sebelumnya, Senin (27/10/2025), menyatakan pelunasan dilakukan melalui transfer bank ke rekening Iswandi Rifqi di Bank BCA.
“Keterangan saksi Abadi jelas bertentangan dengan keterangan Bahar yang menyebut pembayaran dilakukan secara tunai di Megdy,” tegas Erdi Surbakti kepada majelis hakim.
Erdi juga mempertanyakan dasar penerbitan sertifikat tanah yang kini diklaim oleh Abadi Tjendra. Menurutnya, register tanah bukan kewenangan lurah, melainkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), karena lahan tersebut termasuk dalam SK Kavling Kementerian Dalam Negeri cq Panitia Perkavlingan Perumahan Departemen Dalam Negeri.
Perkara ini bermula dari laporan Abadi Tjendra terhadap Andreas Tarmudi dan Januaris Siagian, yang dituduh melanggar Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan orang lain tanpa izin. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Agra menilai kedua terdakwa telah menguasai tanah di wilayah Karang Tengah, Kota Tangerang, yang disebut sebagai milik Abadi Tjendra berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) No.05292 Tahun 2019.
Dalam dakwaan, jaksa menyebut sertifikat tersebut diterbitkan atas dasar jual beli antara Abadi dan Iswandi Rifqi pada tahun 2014 dengan luas tanah 557 meter persegi seharga Rp400 juta.
Namun, pihak terdakwa melalui tim penasihat hukumnya menyampaikan versi berbeda. Mereka menegaskan bahwa Andreas dan Januaris telah menempati dan menguasai lahan tersebut sejak tahun 2000, jauh sebelum Abadi membeli tanah itu.
“Klien kami membangun rumah dan memagari lahan tersebut sekitar 25 tahun lalu, setelah membeli dari Budi Hasan, berdasarkan Surat Pembebasan Hak Atas Tanah dan Kuasa Jual dari Tatang Thoha,” ungkap Rizky Lamhot Ginting, anggota tim kuasa hukum terdakwa.
Sengketa ini semakin panas setelah terdakwa Andreas Tarmudi melaporkan balik Abadi Tjendra ke Polres Metro Tangerang Kota dengan Laporan Polisi Nomor 1446/B/XII/2024, atas dugaan pemalsuan dokumen tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 264 dan 266 KUHP.
Tim hukum terdakwa menduga Sertifikat Hak Milik No.05292/2019 yang dimiliki Abadi diterbitkan secara tidak sah dan cacat hukum. Dalam prosesnya, BPN disebut tidak melakukan verifikasi lapangan ataupun meminta persetujuan dari penghuni lama yang telah bermukim di lokasi.
“Setiap penerbitan sertifikat wajib melibatkan pemeriksaan lapangan dan tanda tangan penghuni setempat. Bila itu diabaikan, maka sertifikat dapat dinyatakan cacat hukum,” ujar Eko Yudha Septianto, anggota tim hukum terdakwa.
Menanggapi kompleksitas kasus ini, Erdi Surbakti menilai bahwa perkara tersebut lebih tepat diselesaikan melalui pengadilan perdata.
“Ini murni sengketa kepemilikan dan sejarah penguasaan lahan. Kalau dua pihak sama-sama punya bukti dan dasar hukum, maka seharusnya diuji di pengadilan perdata, bukan dikriminalisasi,” katanya.
Publik menantikan bagaimana majelis hakim menilai inkonsistensi kesaksian dan menelusuri akar sengketa lahan yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade ini.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































