JAKARTA – Menyusul konferensi pers yang digelar oleh Polda Riau pada Rabu (4/6), terkait hasil otopsi anak berinisial KB yang meninggal dunia di lingkungan sekolah di Kabupaten Indragiri Hulu, tim kuasa hukum keluarga korban menyampaikan sikap tegas dan resmi. Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Hukum Martin Lukas Simanjuntak & Partners, Jakarta, Sabtu (7/6/25). Tim pengacara menekankan pentingnya penegakan keadilan yang berpihak pada hak anak dan keluarga korban.
“Kami menegaskan bahwa dalam sistem perlindungan anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan fisik, kejahatan seksual, maupun bentuk kekerasan lainnya di lingkungan satuan pendidikan,” tegas Martin Lukas Simanjuntak, kuasa hukum keluarga KB.
Menurut pihak keluarga, kejadian ini tidak bisa dianggap selesai hanya dengan kesimpulan medis semata. Fakta bahwa kejadian bermula di sekolah mengindikasikan adanya potensi kelalaian institusi pendidikan dalam memberikan perlindungan maksimal terhadap peserta didik.
“Lingkungan sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat yang harus menjamin keselamatan fisik dan psikis anak. Maka dari itu, lembaga pendidikan juga harus dimintai pertanggungjawaban,” imbuh Martin.
KPAI Minta Proses Berkeadilan dan Pemulihan Korban
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang turut hadir secara daring dalam konferensi pers, menyatakan duka mendalam kepada keluarga korban dan menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga di Riau sejak 2 Juni.
“Kami telah menghubungi pihak Polres, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten, dan melakukan pengumpulan informasi awal. Kami menekankan agar proses hukum dilakukan secara transparan, independen, cepat, dan adil, serta mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak,” ujar Komisioner KPAI, Dian Sasmita.
KPAI juga merekomendasikan agar proses hukum tidak berhenti pada hasil medis, tetapi harus tetap mempertimbangkan kemungkinan adanya kelalaian sistemik. Selain itu, dukungan pemulihan psikososial bagi keluarga korban, terutama bagi adik korban yang masih kecil, harus menjadi perhatian serius negara.
Sorotan atas Hasil Otopsi
Sebelumnya, Polda Riau merilis hasil otopsi yang menyatakan bahwa korban meninggal akibat infeksi sistemik akibat pecahnya usus buntu, dan memar yang ditemukan tidak berkaitan langsung dengan kematian.
Namun, pihak keluarga menilai bahwa temuan ini belum cukup menjelaskan secara menyeluruh kronologi dan kemungkinan penyebab kekerasan sebelum kematian.
“Kami menghargai hasil medis, tapi fakta bahwa anak mengalami memar dan sempat dibawa ke tukang urut menunjukkan bahwa perlu penyelidikan lebih dalam. Kami meminta agar kasus ini tidak disimpulkan terburu-buru,” tambah Martin.
Tuntutan Keluarga dan Langkah Lanjutan
Tim kuasa hukum menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, termasuk menyiapkan pelaporan atas dugaan kelalaian dan kemungkinan tindak kekerasan terhadap anak.
“Keadilan bagi almarhum KB bukan hanya tentang siapa pelaku, tetapi tentang bagaimana negara memastikan tidak ada lagi anak yang menjadi korban di sekolah. Ini tentang pertanggungjawaban moral dan hukum,” ujar Martin.
Tim hukum juga menyerukan kepada masyarakat dan media untuk mengawal kasus ini dengan objektivitas dan empati. Konferensi pers ditutup dengan ajakan untuk terus mendorong penguatan sistem perlindungan anak di seluruh satuan pendidikan, khususnya di daerah tertinggal.
Penulis : Fahmy Nurdin
Editor : Fahmy Nurdin