JAKARTA – Persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi penyaluran kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI) kembali bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025). Kasus yang ditaksir menimbulkan kerugian negara sebesar Rp34,51 miliar ini menyeret empat terdakwa: Lia Hertika Hudayani, Ferry Syarfariko, Nazal Gilang Ramadhan, serta Lilys Yuliana alias Sansan, yang hingga kini masih berstatus buron (DPO).
Agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan para terdakwa, yang dimintai keterangan sebagai saksi untuk satu sama lain, guna mengurai detail peran masing-masing dalam proses kredit yang disebut janggal sejak awal.
Ferry Sebut Sansan Kendalikan Calon Debitur
Dalam keterangannya, terdakwa Ferry Syarfariko mengungkap bahwa ia kerap mendapat perintah langsung dari Sansan untuk mengantar para calon debitur ke Nazal Gilang Ramadhan yang saat itu bertugas di BNI Jakarta Kota maupun BNI Daan Mogot.
“Ada 15 orang, 15 orang lebih, semua atas perintah Sansan,” ujar Ferry di hadapan majelis hakim.
Ferry mengaku tidak pernah mengetahui lebih jauh mengenai kepemilikan atau keaslian mesin yang menjadi objek pembiayaan kredit. Ia menjelaskan bahwa pengecekan tidak pernah dilakukan secara mendalam.
“Nggak ditanya soal kepemilikan. Hanya ditanya mesin ini peruntukannya untuk apa,” jelasnya.
Ia juga menyatakan bahwa dana pencairan kredit para debitur hampir seluruhnya diserahkan ke Sansan, bukan digunakan sebagaimana mestinya.
Lia Beberkan Prosedur OTS yang Minim Verifikasi
Dalam pemeriksaan terpisah, terdakwa Lia Hertika Hudayani memaparkan riwayat tugasnya serta mekanisme penyaluran kredit di kantor BNI Jakarta Kota dan Daan Mogot. Ia menegaskan bahwa proses On The Spot (OTS) hanya dilakukan sebatas mencocokkan fisik mesin dengan invoice.
“Pertanyaannya sebatas: ‘Mas, apa ini mesinnya?’ Kita cuma mencocokkan invoice yang kita pegang sama yang kita lihat,” ungkap Lia.
Pernyataan Lia membuat Ketua Majelis Hakim Fajar Kusuma Aji menyoroti lemahnya standar verifikasi sistem perbankan.
“Mesin tidak bisa tahu kebenarannya. Sistem hanya membaca kelengkapan, bukan kebenaran. Itu kelemahan sistem!” tegas hakim.
Lia juga mengakui memproses administrasi kredit yang diajukan Gilang Ramadhan, termasuk memeriksa rekening koran milik nasabah.
Pengorbanan Pribadi Lia: Rumah, Mobil, hingga Perhiasan Raib
Dalam pemeriksaan oleh penasihat hukum Erdi Surbakti, Lia mendadak memberikan keterangan yang mengundang perhatian. Ia mengaku mengalami kerugian pribadi karena permintaan Sansan.
“Memperkaya orang lain memperkaya diri sendiri? Izin Pak, di sini malah saya yang kehilangan rumah, mobil sama perhiasan karena DPO ini,” ujar Lia lirih.
Ia menjelaskan bahwa ia sempat menggadaikan rumah, meminjam uang Rp100 juta dari seseorang bernama Chirut, lalu menyerahkan seluruh uang tersebut kepada Sansan.
“Chirut transfer ke saya Rp100 juta, saya tarik tunai, setor tunai ke si Sansan, ke rekening pribadinya,” kata Lia.
Karena tak mampu mengembalikan pinjaman, BPKB mobil Avanza miliknya terpaksa dijadikan jaminan. Kondisi ini membuat Lia kehilangan hampir seluruh asetnya.
Catatan Penting Penasihat Hukum: Dakwaan Dinilai Tidak Jelas dan Bukti Kerugian Dipertanyakan
Usai persidangan, penasihat hukum Lia, Erdi Surbakti SH, menyampaikan beberapa keberatan terkait dakwaan jaksa penuntut umum. Ia menilai sejumlah hal masih kabur dan belum memenuhi prinsip pembuktian yang adil.
1. Dakwaan Digabungkan Tanpa Kejelasan Lokasi Perbuatan
Erdi mempertanyakan mengapa kasus yang melibatkan dua kantor BNI Jakarta Kota dan Daan Mogot digabungkan dalam satu dakwaan tanpa penjelasan wilayah hukum yang tegas.
“Dakwaan dijadikan satu antara Jakarta Kota dan Daan Mogot. Ini belum terjawab: dia melakukan kejahatan itu di mana? Wilayah hukumnya apa?” tegasnya.
2. Dasar Kerugian Negara Dinilai Lemah
Ia mengkritik penggunaan audit internal BNI, bukan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagai dasar angka kerugian negara.
“Kerugian yang ditetapkan masih abu-abu,” ujarnya.
3. Sistem BNI Dinilai Gagal Mendeteksi Early Warning
Erdi mengungkap data yang menunjukkan kelemahan sistem deteksi risiko BNI. “Ada 127 nasabah bermasalah di Daan Mogot dan 93 nasabah Jakarta Kota tidak terdeteksi,” terang Erdi.
4. Perhitungan Kerugian Diambil Hanya dari Tahun Terakhir
Ia menekankan bahwa kredit pada tahun pertama dan kedua lancar, tetapi hanya tahun terakhir yang dihitung, sehingga dinilai tidak adil.
Tuntutan Pembela: Dakwaan Harus Diperjelas Demi Keadilan
Erdi menegaskan bahwa kejanggalan-kejanggalan dalam dakwaan harus diluruskan agar tidak merugikan para terdakwa yang menurutnya telah mengikuti standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku.
“Data sudah lengkap dan benar menurut sistem, karena kredit dua tahun pertama lancar,” ujarnya.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin




































