JAKARTA – Lembaga pemantau kebijakan hukum dan peradilan, Democratic Judicial Reform (De Jure), melontarkan kritik tajam terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang hingga kini belum mengeksekusi Silfester Matutina, terpidana kasus pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Direktur Eksekutif De Jure, Bhatara Ibnu Reza, menilai lambannya langkah Kejagung menjadi bukti lemahnya keseriusan institusi penegak hukum dalam menegakkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Kami menilai Kejaksaan tidak benar-benar serius melaksanakan tugas dan fungsinya dalam kasus ini, terutama dengan alasan yang berubah-ubah serta saling lempar tanggung jawab antara Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Kejaksaan Agung,” ujar Reza dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Minggu (12/10/2025).
Menurut Reza, alasan Kejaksaan yang mengaku tidak mengetahui keberadaan Silfester patut dipertanyakan. Sebab, sosok yang telah divonis 1,5 tahun penjara itu masih kerap muncul di ruang publik dan media massa.
“Dalih bahwa Kejaksaan tidak bisa menemukan Silfester tidak masuk akal. Publik bisa melihat sendiri yang bersangkutan masih bebas dan aktif di berbagai kegiatan. Hal ini memunculkan dugaan adanya praktik tebang pilih dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Lebih jauh, Bhatara menilai kasus ini bukan hanya persoalan teknis pelaksanaan eksekusi, tetapi juga menunjukkan persoalan struktural dalam sistem kerja Kejaksaan. Ia menyebut, meskipun Kejaksaan memiliki kewenangan luas melalui undang-undang, hal itu tidak serta-merta menjamin konsistensi dalam penegakan hukum.
“Kewenangan besar tanpa pengawasan efektif hanya akan melahirkan potensi penyalahgunaan wewenang. Apalagi, saat ini Kejaksaan justru mendorong perluasan kekuasaan melalui RUU KUHAP dan revisi UU Kejaksaan,” kata dia.
Menurutnya, absennya mekanisme check and balance yang kuat antara penggunaan kewenangan dan pengawasan eksternal menjadi akar lemahnya akuntabilitas Kejaksaan. Ia juga menilai rancangan perubahan perundang-undangan belum menampakkan arah untuk memperkuat fungsi pengawasan tersebut.
Atas kondisi itu, De Jure mendesak Kejaksaan segera mengeksekusi putusan kasasi terhadap Silfester Matutina tanpa menunda lagi. Reza juga meminta Komisi Kejaksaan Republik Indonesia agar tidak diam dan menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja jaksa dalam kasus ini.
“Kami mendesak Kejaksaan RI untuk secepatnya mengeksekusi terpidana Silfester Matutina, serta meminta Komisi Kejaksaan menjalankan tugasnya dalam mengawasi kinerja dan perilaku jaksa secara serius,” ujarnya.
Kasus ini berawal pada 2017, ketika Silfester Matutina dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik karena menyebut Jusuf Kalla menggunakan isu SARA dalam memenangkan pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Pada 30 Juli 2018, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara kepada Silfester. Putusan tersebut kemudian dikuatkan di tingkat banding pada 29 Oktober 2018. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperberat vonis menjadi 1 tahun 6 bulan penjara.
Namun, hingga kini, putusan kasasi tersebut belum dieksekusi oleh Kejaksaan. Silfester bahkan sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK), yang belakangan resmi ditolak oleh Ketua Majelis Hakim I Ketut Darpawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Keterlambatan eksekusi ini memunculkan persepsi negatif di masyarakat terkait konsistensi Kejaksaan dalam menjalankan putusan hukum. Pengamat menilai, jika Kejaksaan terus menunda, maka kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum bisa semakin tergerus.
“Jika kasus seperti ini dibiarkan, publik akan menilai hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” tutup Reza.
Reporter: Fahmy Nurdin
Editor: Fahmy Nurdin